Sejarah Gunung Leuser

Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan ijin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian tersebut, Van Heurn menyatakan bahwa kawasan yang diteliti tidak ditemukan kandungan mineral yang besar dan menyatakan bahwa pemuka-pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.

Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian Selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian Utara.

Proposal tersebut akhirnya direalisasikan dengan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan "Deklarasi Tapaktuan", yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 ((Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik pidana penjara maupun pidana denda). Dalam salah satu paragraph Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut : "Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke', labuhan Hadji, Manggeng, Lho' Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan buoeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang"

Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.

Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.

Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, yaitu; TN.Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo.

Berdasarkan Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 166/Kpts/Um/3/1982, tanggal 3 Maret 1982 tentang Perubahan Status sebagian Suaka Margasatwa Kappi seluas 7.200 ha dan Penunjukan sebagian hutan Serbolangit seluas 2.000 ha yang terletak di Aceh Tenggara, Daerah istimewa Aceh sebagai Hutan Wisata Lawe Gurah.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha yang merupakan gabungan SM Langkat Selatan dan Barat, SM Sekundur, dan Taman Wisata Sekundur. Serta Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar yang merupakan gabungan SM Gunung Leuser, SM Kluet, SM Kappi dan Taman Wisata Lawe Gurah.

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Nomor: 46/Kpts/VI-Sek/84 tentang Penunjukan Wilayah Kerja Taman Nasional, tanggal 11 Desember 1984, disebutkan bahwa Wilayah Kerja TNGL adalah: Suaka Margasatwa (SM) Gunung Leuser, SM langkat Barat, SM Langkat Selatan, SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, Taman Wisata Lawe Gurah, Taman Wisata Sekundur, Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala. Pada tahun 1984 tersebut juga telah ditetapkan Unit Pelaksana Teknis Pengelola TN. Gunung Leuser dengan kantor Pusat di Kutacane, Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh.

Sejak tanggal 12 Mei 1984, dengan diterbitkannya SK Menhut Nomor: 096/Kpts-II/1984 menetapkan TNGL merupakan unit Dirjen PHPA yang tingkatannya disamakan dengan eselon III. UPT ini dipimpin oleh seorang Kepala UPT-TN yang bertanggung jawab kepada Dirjen PHPA dan membawahi Sub Bagian TU dan 2 (dua) seksi yaitu Seksi penyusunan Program dan Seksi Pemanfaatan, dilengkapi dengan Kelompok Tenaga Fungsional Konservasi. Ternyata ketentuan struktur organisasi tersebut masih sukar diterapkan dalam pelaksanaan pengelolaan TNGL karena wilayah kerja kawasan TN ini relatif sangat luas.

Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses penngukuhan kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan: Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 hektar), Suaka Margasatwa Kluet (20.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 hektar), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 hektar), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 hektar), Taman Wisata Gurah (9.200 hektar), Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas (292.707 hektar).

Pada perkembangan selanjutnya, pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, tentang Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional, Kepala UPT-TN (Balai TN) membawahi Kepala Sub Bagian TU dan Kepala Seksi Wilayah, selain juga Kelompok Jabatan Fungsional. Saat ini wilayah TNGL terbagi dalam 4 seksi wilayah dan mengikuti struktur organisasi taman nasional tipe A, yaitu di Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Langkat Sikundur, dan Langkat Selatan. Khusus wilayah Aceh Tenggara dengan didasarkan oleh karakteristik suku, dibagi lagi menjadi 2 wilayah koordinasi yaitu wilayah Gayo Lues di Blangkejeren dan wilayah Lembah Alas di Kutacane.
Penelitian di TNGL tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan peran Stasiun Penelitian Ketambe didirikan pada tahun 1971 oleh Herman D. Rijksen (Suharto, 2006). Pada awalnya tempat ini difungsikan untuk merehabilitasi orangutan sitaan dari penduduk, dalam rangka penegakan hukum dan konservasi alam. Tempat ini dipilih karena kaya dengan tumbuhan pakan orangutan; misalnya jenis-jenis beringin (Ficus spp.), durian (Durio sp.) dan banyak jenis yang lain. Tempat ini merupakan semenanjung yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ketambe dan Sungai Alas, terletak di dalam TNGL. Pertimbangan lainnya ialah tempat ini jauh dari perkampungan penduduk dan dapat dijangka dengan kendaraan roda empat pada lintasan jalan Kutacane - Blangkejeren. Pada awalnya pusat penelitian Ketambe seluas 1.5 km2 (Rijksen, 1978). Ketika Unit Management Leuser bekerja pada tahun 1998, dikembangkan beberapa Stasiun Penelitian (SP), yaitu SP Agusan, SP.Bengkung, SP.Gunung Air, SP.Soraya, dan SP.Suaq Belimbing. Namun saat ini, hanya SP. Ketambe yang masih berfungsi secara baik.

Pada 1979, Schurman memperluas, mengukur, dan memetakan dengan sangat akurat pusat penelitian Ketambe sehingga luasnya menjadi 4.5 km2. Pada Pebruari 1979, seluruh orangutan rehabilitan di Ketambe dipindahkan ke Stasiun Rehabilitasi Orangutan Bohorok, sejak itu Ketambe hanya difungsikan sebagai pusat penelitian.

Menurut Mogea, JP dalam LIPI (2004) telah dapat dikumpulkan judul tulisan, naskah, dan dokumen sebanyak 200 judul, dengan rincian: flora (97 judul), fauna (37 judul), ekologi (33 judul), geologi (10 judul), etnobotani-sosial-ekonomi-budaya (9 judul), manajemen (7 judul), konservasi (6 judul), pendidikan (3 judul), fenologi (2 judul), dan ekowisata (1 judul). Tulisan tertua yang dapat ditemukan adalah naskah tentang budaya yang ditulis oleh Snouck Hurgronje (1903) dan tulisan terbaru adalah dokumen perjalanan survei Ladia Galaska yang ditulis oleh Tahan Uji (2004). (Sumber: Renstra BTNGL)

sumber : gunungleuser.or.id dan Renstra TNGL

Comments

  1. Asal dari kata LEUSER itu sendiri dari mana dan apa arti/maknanya ?
    Terimakasih atas pencerahannya bila ada.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara