Posts

Showing posts from August, 2012

Lambang Kolonialisme yang Gelap (Kasus Benteng Kuta Reh)

Image
Belanda selalu memandang diri sebagai negeri yang kalem dan cinta damai, dan seringkali merasa menjadi korban kekerasan brutal negeri-negeri  yang lebih adidaya, Jerman terutama. Namun sejarah mencatat, bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia, Belanda adalah negeri adidaya. Di tahun 1900 Belanda adalah negeri adidaya ketiga setelah Inggris dan Perancis. Di kawasan ini Belanda juga bertingkah sebagaimana jamaknya negeri adidaya: penuh kekerasan dan haus kekuasaan. Di tahun 1904, polisi militer Belanda di bawah pimpinan Letkol Van Daalen meluncurkan ekspedisi berdarah di daerah  Gayo dan Alas, kawasan yang dianggap memberontak di Aceh, Sumatera. Lebih dari tiga ribu penduduk setempat dihabisi, termasuk perempuan dan anak-anak. Duapuluh persen penduduk daerah Alas dibantai. Pertempuran berjalan tak imbang: pasukan Belanda dengan senapan otomatis, rakyat Aceh dengan pemuras atau terakul (senjata api rakitan yang hanya meletus sekali lalu harus diisi lagi, rh.), air cabe, pentung d

The Alas

The Alas, also known as the Urang Alas or Kalak Alas , live in the Alas River Valley in the district of Southeast Aceh (Kabupaten Aceh Tenggara). They number approximately 70,000 and are descendants of immigrants from other parts of Sumatra, particularly the Batak region. This is supported not only by oral tradition, but also by linguistic data. Like the Gayo in pre-colonial times, they were subjects to the sultan of Aceh and had, by the seventeenth century, converted to Islam. In the capital, Kutacane, the commercial elite was comprised of Batak, Malays and Minangkabaus. In 1903, the Dutch conquered the area in a bloody campaign which claimed the lives of between one quarter and a third of the male population (Cf. Reid (1969, pp. 187-188). Up until the middle of the twentieth century, the Alas lived in longhouses of varying size. In the village of Batu Mbulan, for example, it was reported, in the mid-nineteenth century, that twenty-four families lived in one sing

SEJARAH GAYO (KEKEBEREN): Kerajaan Linge, Kerajaan Islam Pertama Di Aceh

Berikut ini rekaman wawancara tentang Kekeberen / Sejarah Gayo (Khususnya) dan Aceh (umumnya), yang disampaikan oleh Alm. Tengku Hadji Ilyas Leube disuatu malam pada tanggal 26 Oktober 1976.  Dari rekaman berformat mp3 (56,9 MB) yang berdurasi 121 menit 18 detik ini, kita akan mengetahui secara detail cerita tentang asal usul suku Gayo. Mulai dari kisah Kerajaan Linge yang dipimpin oleh Raja Genali, seorang raja beragama Islam, yang berasal dari Rum (Turki). Beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Kawe Tepat (oleh orang Aceh) atau Tengku Kik Betul (sebutan oleh orang Gayo). Termasuk kisah perjalanan dari masing-masing keturunannya, mulai dari Raja Linge yang Pertama hingga keturunan Raja Linge ke 17. Dalam rekaman ini juga mengisahkan bagaimana Tengku Abdullah Kanaan (berasal dari Arab) bersama 300 muridnya (termasuk Tengku Johansyah, putra Raja Linge ke I ) menyebarkan Islam dari Wih Ben (Bahasa Gayo) atau Bayeun (Bahasa Aceh) ke Pereulak, kemudian Linge, Angkup, Tamar, Geulumpang

Perbendaharaan Bahasa Alas

Image
Bahasa  Alas merupakan bahasa yang digunakan masyarakat di Tanah Alas (Aceh Tenggara). Bahasa ini bertalian erat dengan Bahasa Kluet (Aceh Selatan), Bahasa Julu di Singkil (Aceh Singkil), Bahasa Pakpak, dan Bahasa Karo di Sumatera Utara. Bahasa Alas mempunyai tiga dialek yaitu dialek Hulu dipakai di Kecama­tan Badar, dialek Hilir di Kecamatan Bambel, dan dialek Tengah yang digunakan masyarakat di Kecamatan Babussalam dan Lawe Alas. Perbe­daan dari ketiga dialek ini hanya sedikit sekali. Bila ditinjau dari segi intonasi, pemakaian bahasa Alas di Kecamatan Badar lebih halus dan terkesan lembut, sedang di daerah Kecamatan Babussalam, Lawe Sigala-gala, sedikit mengesankan lemah lembut. Selanjutnya, di Kecamatan Bambel lebih keras/kasar. Dalam bahasa Alas juga ditemukan tingkat bahasa, meskipun hanya ditemukan pada beberapa kata. Hal itu dapat dilihat dari tabel berikut ini. Pemakaian kata-kata di atas dibe­dakan oleh situasi atau lingkungan pemakai. Bahasa halus dipakai untuk upaca

Aceh Tenggara Negeri Leuser yang Perlu Komitmen

Image
Aceh Tenggara Negeri Leuser yang Perlu Komitmen (Panoramio.com | glavind) Secara  tofografi, Aceh Tenggara dikelilingi oleh daerah perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar pun terdapat di kabupaten ini. Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, di antaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah raga arung sungai yang sangat menantang. Setelah mengalami gejolak konflik beberapa lama, Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tenggara (Hasanuddin Beruh dan Syamsul Bahri) pada 1 September 2007 dilantik oleh Gubernur Aceh. Ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk zona pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan-C yang sangat beragam dan pot