Satu sisi sejarah Alas dari Buku Adat dan Islam di Aceh
Sejak terbentuknya Kesultanan Aceh sampai
pada masa permulaan pemerintah Sultan Iskandar Muda, kelihatan bahwa wilayah
Aceh tidak saja merupakan satu kesatuan Administratif tetapi juga
berbentuk satu kesatuan adat istiadat. Namun demikian dalam rangka kemajuan di
peroleh di bidang ekonomi melaluipenjualan lada, menyebabkan perluasan areal
tanaman lada kepantai Barat dan Timur di bagian barat, kelompok etnis aceh
bertemu dengan etnis Minangkabau sehingga terbentuknya Adat aneek Jamee.
Ke pantai Timur kelompok etnis Aceh bertemu dengan kelompok Melayu sehingga
terjadi pencampuran kebudayaan yang tercermin dalam adapt Tamiang. Keadaan
seperti ini terdapat di daerah Gayo dan Alas, meskipun prekwensi pencampuran
itu demikian tinggi kadarnya. Adanya belah di Gayo yaitu ˝Belah Cik˝, yang
cikal bakalnya adalah keturunan dari etnis Aceh dan ˝Belah Bukit˝yang cikal
bakalnya berada dari etnis Batak. Kedua belah ini sesungguhnya menunjukkan adanya perbedaan terutama di
bidang bahasa dan dialek. Perbedaan ini tidak lagi bersifat fundamental karena telah terjadi pencampuran yang
begitu jauh antara kedua belah tersebut.
Masyarakat Adat Aneuk Jamee, cikal bakal mereka sebenarnya
berasal dari pada migran Minangkabau yang mendiami pesisir bagian Barat
dan Sultan Aceh. Berasal dari suku Rao dan lain-lain. Para migrant ini telah
melakukan perpindahan pada abad ke 17. Apa yang melatarbelakangi perpindahan
mereka belum diketahui secara pasti. Namun agaknya perpindahan tersebut erat
kaitannya dengan faktor geografis. Politik ekonomi yang menarik untuk
perpindahan ke daerah-daerah tersebut. Oleh karena perpindahan ini tidak
langsung dalam waktu satu kali saja tetapi berlangsung dalam beberapa
gelombang, demikian juga tidak konsentrasi pada satu wilayah. Para migrant
yang terdiri dari beberapa suku ini, membanguun koloni sebagai tempat tinggal
mereka.
Lambat laun dalam pembentukan koloni ini mereka mengikuti
sistem yang berlaku pada etnis Aceh, wilayah terkecil di sebut Kampong (Aceh
Gampong) untuk sebutan Desa. Kepala Suku dalam perkembangan suku untuk
perkembangan selanjutnya menjadi Datuak, yang menjadi sebagai kepala
pemerintahan mereka. Sebagaimana yang telah di kemukakan bahwa terbentuknya
kelompok etnis (Masyarakat Aceh) di Aceh adalah akibat perhubungan antara
kelompok etnis Aceh dengan kelompok etnis yang lain. Mereka masing-masing
membaur membentuk adat istiadat yang berbeda dengan adat istiadat Aceh. Bagi
masyarakat etnis Aceh hal ini dengan mudah dapat diterima karena etnis Aceh
tidak terbentuk dari satu masyarakat yang homogen, namun terbentuk dari
segala unsur-unsur yang homogen. Penduduk semenanjung Malaka, orang-orang
Melayu, orang-orang Batak, orang-orang Nias, orang-orang Keling yang berasal
dari berbagai wilayah di India, orang-orang Arab, orang-orang Afrika,
orang-orang Jawa telah berbaur dengan penduduk asli dan dari unsur-unsur
inilah keturunan etnis Aceh terbentuk. Hal ini dengan sendirinya adapt istiadat
juga ikut berbaur menjadi satu yang kemudian disebut dengan adat istiadat Aceh.
Pembauran yang terjadi di aceh tidak saja
di bidang adat istiadat atau kebudayaan pada umumnya yang lebih penting telah
menerima Islam sebagai agama, tidak saja kelompok etnis Aceh namun seluruh
kelompok etnis asli yang ada di Aceh (Gayo, Aneuk Jamee, Alas, Tamiang,
Simeulue, Kluet) seluruhnya memeluk agam Islam. Agama Islam telah mempercepat
terjadinya pembauran antara etnis pendatang dengan etnis Aceh, terlihat di
dalam perjalanan Sejarah dari masyarakat Aceh. Pelapisan social pada masyarakat
etnis Aceh, Gayo Aneuek Jamee, telah dikenal adanya pelapisan-pelapisan social
seperti yang terdapat pada setiap kelompok etnis lain di Indonesia, terutama pada masa lampau di dasarkan kepada faktor keturunan.
Pada masyarakat etnis Aceh, Gayo dan Aneuk Jamee, Selain terdapat adanya pelapisan social yang berdasarkan keturunan juga
masih ditemukan golongan yang bersifat fungsional yaitu golongan ulama,
munculnya golongan-golongan ulama ulama ini disebabkan mereka mempunyai
keahlian di dalam lapangan keagamaan (Agama Islam) merupakan golongan
intelektual pada masa lampau, yang mempunyai kedudukan tersendiri di dalam
masyarakat. Sebagaimana halnya dengan golongan Raja/Sultan, Uleebalang (Hulu
Balang) dan rakyat masing-masing mempunyai atribut tersendiri demikian pula
dengan golongan ulama ini.
Baik dilihat dari faktor keturunan maupun
fungsional pelapisan sosial dimasa lampau pada masyrakat etnis Aceh, Gayo
dan Aneuk Jamee dapat di sebut sebagai berikut Daerah Adat Aceh :
-
Golongan Raja ( Sultan).
-
GolonganUleebalang.
-
Golongan Ulama.
-
Golongan Rakyat.
Daerah Adat Aneuk Jamee :
-
Golongan Raja atau Datuak.
-
Golongan Hulu Balang.
-
Golongan Ulama.
-
Golongan Rakyat.
Daerah Adat Gayo:
-
Golongan Raja atau Kuru Reje.
-
Golongan Wakil Raja atau Kuru Patue.
-
Golongan Imam atau Kuru Imam.
-
Golongan Rakyat.
Adanya perbedaan yang telah ditemukan diatas, menyebabkan
pula perbedaan-perbedaan yang menyangkut dengan pekerjaan adat. Dari
adanya perbedaan golongan di dalam masyarakat menimbulkan perbedaan di bidang
tatarias pengantin tradisional, masing masing golongan mempunyai ciri-ciri tersendiri,
sehingga dengan mudah dapat membedakannya. Saat ini pelapisan sosial dengan
tidak terasa lagi walaupun dari masing-masing golongan memakai kelas tertentu
seperti yang lazimnya dipergunakan pada masa lampau dan semua golongan telah
diberikan kesempatan dan perlakuan
yang sama di dalam berbagai hal. Asal
usul penduduk Aceh Selatan ada hubungannya dengan dua aliran penyebaran
penduduk yang berasal dari India belakang yang terdiri dari :
-
Aliran Proto Melayu.
-
Aliran Duetro Melayu.
Dan dapat di golongkan ke dalam:
-
Suku Aceh berbahasa Aceh.
-
Suku Jamu berbahasa jamu.
-
Suku Singkil berbahasa Singkil.
-
Suku Pulau berbahasa Pulau.
Suku Aceh dan suku Jamu (Jamee) mendiami
daerah-daerah pantai, yang menunjukkan dahulunya berasal dari golongan
Duetro melayu karena mereka inilah golongan terakhir di Nusantara.
Sedangkan suku Kluet dan Singkil pedalaman
berasal dari proto Melayu dan mereka daerah pedalaman Daerah ini setelah datang ke Nusantara bersama-sama
dengan orang batak, yang mulanya mendarat
di Sungai Simpang Kiri (Gelombang) dan terus ke Kutacane dari sini mereka
mendiami seluruh pedalaman Aceh.
Sedangkan suku pulau yang mendiami pulau
banyak adalah langsung berasal dari teluk Marhaban dan searus dengan suku
Nias, Mentawai dan Siberut. Suku Jamu (Jamee) yang mendiami Kabupaten Aceh
Selatan dapat dikatakan berasal dari Minangkabau Sumatera Barat. Lama kelamaan
semua suku ini mengadakan asimilasi satu sama lain sehingga dapat kita bayangkan
akan timbul suatu ikatan baru yang hidup secara harmonis dalam masyarakat
disini.
Di Aceh selatan terdapat berbagi bahasa,
seperti bahasa Aceh, bahasa Minang Kabau dengan dialek Aceh Slatan. Di
kewedanan Bakongan (Kecamatan pulau banyak) berbahasa nias dan bahasa
pulau. Sedangkan di kecamatan Simpang kiri dan simpang kanan terdapat bahasa
hulu Singkil dan di beberapa tempat dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh
Selatan.
Adat Istiadat yang terdapat di daerah ini
sifatnya dapat dikatakan hiterogen dengan suku bangsa yang beraneka ragam
tersebar di seluruh daerah ini. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa adat yang
tersebar tersebut adalah adat Aceh antara lain adalah sebagai berikut :
-
Di Kecamatan Simpang Kiri : Adatnya adalah adat
hulu Singkil yang dinamakan adat Sengraja.
-
Di Kecamatan Kluet Utara : terdapat adat
Aceh,Alas Karo dan Kerinci yang telah disatukan yang kemudian di namakan Adat Kluet.
-
Di Kecamatan-kecamatan lainnya: di kecamatan Seulekatn Aker dua mas, Ujung Tanah dan
Jambo Kupak (Kecamatan Bakongan ).
Demikian juga di kecamatan Tapaktuan, Kecamatan Labuhan Haji
dan Kecamatan Susoh.
Comments
Post a Comment