KORUPSI KEBIJAKAN INCUMBENT

Tahun ini diperkirakan lebih dari 120 kabupaten/kota di seluruh Indonesia akan menyelenggakan pemilihan kepala daerah. Jumlah ini hanya setengah dari jumlah daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi lokal di tahun sebelumnya. Namun, tetap saja yang selalu menjadi perhatian adalah bagaimana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) akan selalu menjadi ajang infiltrasi pengaruh politik oleh setiap peserta pilkada dalam tujuan memperoleh suara sebanyak mungkin dan memenangkan pemilihan tersebut. Sebagaimana yang diatur dalam UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pilkada tetap akan diselenggarakan secara langsung oleh masyarakat di masing-masing kabupaten/kota.
Dalam setiap pemilihan, meski pencalonan berasal dari berbagai orang/tokohmasyarakat, akan selalu terdapat dua model calon yang akan saling ‘bertarung”, yakni mereka yang masih menjabat sebagai kepala daerah yang masih menjabat (incumbent), dan mereka yang belum pernah menjabat. Seperti
inilah kondisi yang selalu terjadi di setiap pilkada yang dilangsungkan. Namun yang perlu kita cermati bersama adalah berkaitan dengan calon yang berasal dari incumbent, terutama pada kondisi yang melekat pada dirinya sebagai seorang incumbent. Dalam banyak hal, incumbent seringkali diuntungkan dengan situasi formal yang melekat dan menjadi kewenangannya sebagai kepala daerah terpilih sebelumnya. Dengan kewenangan tersebut mereka dapat mengambil keuntungan untuk digunakan di dalam pemilihan periode saat ini. Sebagai incumbent tentu dirinya memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan yang populis. Namun, dibalik kebijakan tersebut tersirat sebuah pesan bahwa melalui kebijakan tersebut diharapkan masyarakat pemilih akan memilihnya kembali di pemilihan yang akan datang.
Motif akomodasi kebijakan ini adalah motif laten yang hampir selalu dipergunakan oleh siapapun yang berposisi sebagai incumbent. Melalui kebijakan tersebut, incumbent ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang partisipatif, akomodatif dan mendengarkan aspirasi masyarakat. Sehingga dengan begitu dirinya layak untuk dipilih kembali oleh masyarakat. Terdapat dua kebijakan populis yang sering dikeluarkan oleh incumbent, terutama di saat akan menjelang penyelenggaraan pemilihan. Pertama, kebijakan pemberian bantuan sosial ke masyarakat pedesaan, miskin kota atau ke lembaga-lembaga masyarakat. Kedua, pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan oleh masyarakat. Kedua kebijakan ini nyatanya seringkali efektif di dalam upaya meraup suara sebesar-besarnya di dalam pemilihan kepala daerah. Bantuan Sosial: Bantuan Motif Politik Pemberian bantuan sosial seringkali digunakan oleh incumbent untuk membungkus image atau motif politik dibalik pemberian bantuan tersebut.
Sebagai incumbent, tentu dirinya memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan ini dan mengalokasikan anggaran yang besar untuk kebutuhan ini. Dengan penganggaran yang besar, seorang incumbent dapat mencakupi pemberian bantuan untuk keseluruhan masyarakat. Pada dasarnya, masyarakat pemilih dalam hal ini harus memperhatikan secara betul dan seksama pemberian bantuan sosial yang diberikan oleh seorang incumbent dengan mengatasnamakan pemerintah daerah.
Sebab tak jarang ada pesan yang selalu disampaikan kepada masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, agar masyarakat dapat memberikan dukungan dan menjatuhkan pilihannya kepada incumbent tersebut. Melalui bantuan sosial, masyarakat, terutama masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin, sebetulnya diarahkan untuk memilih incumbent tersebut. Seorang incumbent tidak akan takut untuk membuat kebijakan ini sebab kewenangan yang melekat pada dirinya diatur oleh peraturan perundang-undangan. Sehingga, dirinya dapat dengan leluasa untuk mempergunakan kewenangan tersebut. Padahal, jika dicermati dengan benar, dengan penggunaan anggaran yang tidak dijalankan pada koridor manfaat yang tepat, apalagi bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi berkaitan dengan pilkada, maka seorang incumbent sudah masuk dalam kategori korupsi kebijakan. Dirinya bisa saja berdalih bahwa itu adalah diupayakan untuk membantu masyarakat miskin, Namun, apabila itu baru diselenggarakan menjelang pilkada, tentu ini patut untuk dicurigai dan pastinya kental dengan motif politik untuk dipilih kembali.
Korupsi kebijakan adalah ketika incumbent berupaya memanipulasi situasi demi keuntungan politik pribadinya sendiri. Misalnya adalah untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat. Kewenangan yang melekat pada dirinya tidak serta merta bisa dipergunakan secara serampangan dan tidak terkontrol. Seorang kepala daerah sudah barang tentu memiliki skema perencanaan pembanguan daerah hingga lima tahun ke depan, termasuk soal pemberian bantuan sosial. Adalah tidak wajar ketika mereka secara tiba-tiba memprioritaskan pemberian bantuan sosial yang besar-besaran diakhir masa jabatan mereka dan menjelang pilkada. Meski, secara legal formal, pemberian bantuan sosial mendekati atau menjelang pemkada adalah sah, namun masyarakat diharapkan mampu melihat ini sebagai cara incumbent untuk meraih keuntungan politik pribadi.
Pembangunan Fasilitas Cara lain adalah dengan mengeluarkan kebijakan membangun fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat, seperti pembuatan sumur warga, MCK atau sarana-sarana lainnya. Biasanya seorang incumbent memainkan kebijakan ini melalui APBD atau dana hibah. Dana hibah biasanya akan mengalami kenaikan yang signifikan menjelang pilkada. Dan seorang incumbent dapat mempergunakan dana hibah ini untuk membangun fasilitas tersebut. Masyarakat biasanya akan dihimbau untuk segera mengajukan proposal permohonan bantuan guna mendapatkan skim dana hibah yang telah dianggarkan sebelumnya. Membangun fasilitas publik merupakan salah satu cara efektif yang sering digunakan oleh incumbent untuk memperoleh dukungan masyarakat di Pilkada.
Dengan membangun fasilitas publik ini, dirinya ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat yang belum memiliki sarana fisik yang memadai di tempatnya. Sama seperti pemberian bantuan sosial di atas, pembangunan fasilitas publik juga bisa dianggap sebagai korupsi kebijakan jika memenuhi ketidakwajaran di dalam motif kebijakan yang dikeluarkan tersebut. Seorang incumbent sekali lagi bisa memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadinya di dalam pilkada. Melalui tulisan ini saya ingin mengungkapkan maksud kepada masyarakat agar dapat bersikap kritis terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang incumbent menjelang pilkada.
Masyarakat pemilih harus cerdas menilai mana yang bermotif murni kewenangan yang melekat pada diri seorang kepala daerah dan mana yang bermotif politik kepentingan menjelang pilkada. Masyarakat pemilih harus pula berlaku tegas di dalam mensikapi setiap kebijakan yang bermotif politik tersebut. Kita semua tentu berharap bahwa pilkada dapat dilakukan dengan bebas dan jujur. Segala macam korupsi baik korupsi kebijakan seperti ini harus diberantas agar pilkada yang bebas dan jujur tadi dapat dicapai.

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara