Terpenjara Oleh Karbon


Dunia sedang dihadapi oleh situasi dimana pemanasan global telah menyebabkan kenaikan suhu permukaan bumi . Kenaikan suhu permukaan bumi akibat aktivitas industri dan penggunaan bahan bakar fosil serta deforestasi hutan telah menimbulkan dampak yang besar bagi hidup manusia, mulai dari bencana hingga persoalan penghidupan masyarakat yang bersandarkan pada iklim.

Perundingan-perundingan di badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) memunculkan Reducing Emissions From Deforestation and Degradation (REDD) yang secara sederhana adalah upaya untuk menurunkan emisi karbon yang berasal dari penggundulan dan kerusakan hutan. Negara-negara yang berkeinginan untuk dan mampu untuk menurunkan emisi dari deforestasi hutan akan diberikan kompensasi secara financial untuk kegiatan tersebut. Dengan kata lain merupakan mekanisme penyediaan dana bagi negara-negara berkembang untuk melindungi hutan agar dapat menyerap karbon  yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Dengan harapan, setelah membayar kepada negara-negara yang memiliki banyak hutan, negara maju tetap bisa membuang emisi merekatanpa batasan karena merasa sudah membayar kompensasinya. Negara-negara maju yang menghasilkan emisi karbon melalui industri dinegaranya dianggap telah memberikan sumbangsih untuk mengatasi perubahan iklim dengan hanya membayar kompensasi kepada negara-negara yang bersedia untuk menjaga hutan melalui skema REDD, termasuk Indonesia yang telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26 % sampai dengan tahun 2020. KTT Perubahan iklim di Copenhagen pada akhir Desember 2009 dan yang terakhir di Cancuun Mexico berakhir dengan kemenangan negara-negara maju/industri (Annex 1) --- yang dipelopori oleh Amerika Serikat--- untuk tidak mempunyai kewajiban menurunkan emisi di negara nya dan “memaksa” negara-negara berkembang untuk menurunkan emisi karbon akibat kerusakan hutan. Sebuah ketidak adilan ketika negara seperti Indonesia berkewajiban untuk menurunkan emisi karbon dengan cara menjaga hutan, sementara disisi yang lain negara-negara maju tetap tidak mau menurunkan emisi karbon yang dihasilkan dari cerobong asap industri yang berasal dari negara-negara tersebut.
Skema REDD, Adilkah Untuk Rakyat?
UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan membagi kawasan hutan menjadi dua, yaitu hutan Hak dan Hutan Negara dengan fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. REDD memunculkan fungsi baru kawasan hutan dalam wujud jasa, yaitu perdagangan karbon sehingga lahirlah konsesi baru dalam wujud Restorasi Ekosistem/konservasi yang berorientasi mendapatkan laba dari skema menjaga hutan. Secara sepintas kondisi ini seakan-akan menjadi jawaban bagi kerusakan hutan di Indonesia dan secara ekonomis mampu menghasilkan keuntungan dari aktivitas menjaga hutan. Perangkat kebijakan seperti Permenhut No. 30 tahun 2009 tentang REDD dan  Permenhut No. 36/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan dikeluarkan oleh negara untuk memuluskan implementasi dari skema REDD ini. Berdasarkan Permenhut No 30/2009, lokasi yang dapat dijadikan project REDD adalah Hutan alam, HTI, HP, HKm, Hutan Adat, HTR, Hutan Desa, Hutan Lindung, Hutan konservasi dan Hutan Hak. Implementasi dari REDD ini secara langsung akan bersinggungan dengan wilayah tertentu yang boleh jadi memendam konflik.
Dalam P. 36/Menhut-II/2009, Beberapa perhitungan distribusi benefit dari project REDD ini adalah sebagai berikut
Jenis Hak
Distribusi
Pemerintah
Masyarakat
Pengembang
Hutan Rakyat
10 %
70 %
20%
Hutan Adat
10%
70%
20%
Hutan Tanaman
20%
20%
60%
Hutan Desa
20%
50%
30%
Hutan Kemasyarakatan
20%
50%
30%
IUPHHK-HA
20%
20%
60%

Sumber : Dikutip dari tulisan :Rancangan REDD dan Persoalan Tenure (Perkumpulan Huma)
Skema REDD dalam konteks benefit hanya nampak dalam distribusi benefit untuk Hutan Adat, Hutan Desa dan Hutan Rakyat yang dalam kenyataannya sangat sedikit masyarakat yang mengakses tiga jenis hak ini. Sebagaian besar penguasaan kawasan hutan oleh mereka berstatus tanpa surat. Akan tetapi, nilai ekonomis yang ingin didapatkan melalui REDD sering kali mengabaikan fakta-fakta semacam itu.
Asumsi yang selalu dibangun oleh pengambil kebijakan bahwa kawasan Hutan Alam, eks HPH maupun Hutan Tanaman dan Kesatuan Pengelolaan Hutan merupakan wilayah yang tanpa penghuni. Padahal, dalam banyak kasus, kawasan Hutan Produksi atau pun eks HPH yang terlantar menjadi tempat bagi masyarakat untuk menyandarkan hidupnya dengan memanfaatkan lahan tersebut menjadi areal pertanian atau secara historis kawasan hutan yang ada sebelum konsesi di terbitkan adalah milik masyarakat lokal maupun adat dan kemudian lewat domein penguasaan negara hutan tersebut menjadi milik negara yang kemudian dibebani hak untuk digarap oleh perusahaan-perusahaan pemegang konsesi untuk diambil kayu nya. Setelah konsesi berakhir, lahan tersebut ditelantarkan begitu saja oleh pemilik konsesi atau pun negara sehingga masyarakat yang selama ini hanya menjadi ”penonton” menggarap lahan tersebut untuk dijadikan sumber penghidupan. Apabila REDD diterapkan pada kawasan-kawasan hutan yang telah menjadi garapan masyarakat, maka pelaksanaan REDD hanya akan menimbulkan konflik baru karena akan bertumpang tindih dengan lahan kelola masyarakat.Padahal dalam penerapan REDD di perlukan kepastian kawasan. Domain mengusai hutan yang di miliki oleh negara meletakkan masyarakat yang mengelola di kawasan hutan (Taman Nasional, Hutan Lindung atau pun Hutan Hak) sebagai pihak yang bersalah dan di cap sebagai ”perambah” dan tentu saja ”harus diusir” untuk memastikan bahwa lahan tersebut memenuhi syarat bagi pelaksanaan project REDD. Dengan demikian, konsesi yang diberikan bagi project REDD akan semakin memperlebar jurang keadilan karena logika legal formal akan menempatkan pengusaha yang memiliki status legal berdasarkan hukum negara yang akan mendapatkan manfaat dari izin konsesi REDD yang diberikan.
Bagaimana dengan Jambi?
Sebuah aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat di Jambi, AMPUH (Aliansi Masyarakat Peduli Hutan) menyatakan bahwa dari 5.192.924 Ha luas Propinsi Jambi, sekitar 60 % atau 3.139.822 Ha dikuasai oleh industri. Hutan Produksi, IUPHHK, HPH, perkebunan kelapa sawit dan tambang adalah industri utama yang mengontrol dan menguasai lahan di Propinsi Jambi. Artinya, hanya sekitar 40 % lahan yang dikuasai atau dimanfaatkan oleh masyarakat, itupun harus dikurangi dengan alokasi untuk pertokoan, perkantoran dan sarana publik lainnya.Banyaknya kawasan hutan dan lahan yang dikuasai industri tidak dimanfaatkan secara optimal dan hanya diambil kayu nya kemudian ditelantarkan tanpa ada upaya untuk melakukan reboisasi ataupun pengelolaan lahan sesuai dengan izin yang telah diberikan. Kondisi semacam ini telah menjadi pemicu bagi rakyat yang ”haus” akan tanah untuk menggarap di lahan hutan yang dalam aturan formal negara di dalam UU no 41 Tahun 1999 adalah ilegal. Celakanya, lahan-lahan terlantar yang telah digarap oleh masyarakat ini lah yang kemudian diprioritaskan untuk di konservasi melalui skema REDD.
Sebagai contoh, izin pencadangan areal konsesi untuk PT REKI (Restorasi Ekosistem) pada eks HPH Asialog Kelompok Hutan Senami Bahar di Jambi telah menimbulkan ancaman bagi ratusan petani penggarap di lahan tersebut. Apalagi daerah REDD dalam skema yang berkembang saat ini adalah kawasan yang dianggap bebas dari aktifitas mengeluarkan karbon. Artinya sedapat mungkin kawasan tersebut bebas dari aktifitas manusia. Dalam konteks sperti ini, secara normatif aktifitas manusia di wilayah yang ditetapkan menjadi lokasi REDD adalah sesuatu yang ilegal. Konsekuensi yang akan muncul dari diberlakukan nya izin Restorasi di kawasan tersebut adalah pengusiran dan penggusuran terhadap lahan petani yang akan berdampak pada hilangnya sumber mata pencaharianmereka sebagai petani.
Kemudian, setelah sebelumnya ”gagal” mendapatkan uang karbon dari Pemerintah Norwegia, ditempat lain, melalui program Sumatera Forest Carbon Partnership yang merupakan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Australia, pemerintah Jambi menginisiasi project REDD di kawasan hutan di Lembah Masurai Kabupaten Merangin dengan mengabaikan situasi faktual di lapangan bahwa di kawasan hutan tersebut telah terdapat pemukiman, sekolah dan kebun kopi yang di dikelola dan dimanfaat kan oleh 3000 KK petani untuk menunjang keberlanjutan hidup. Apabila tidak diurus dengan benar dan tidak adanya proses konsultasi serta pendekatan penyelesain masalah yang mediatif dan komprehensif, maka project REDD ini hanya akan menambah daftar panjang konflik di sektor kehutanan yang selama ini kerap menimbulkan korban dan pengabaikan terhadap hak hidup dan ekonomi masyarakat. Dengan UU no 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, cap perambah dan pelanggar hukum seringkali disematkan pemerintah kepada petani penggarap sebagai alasan untuk mengusir mereka dari kawasan hutan dan menangguk keuntungan dari benefit yang akan diperoleh dari skema REDD dengan alasan konservasi untuk mengatasi perubahan iklim. Mengabaikan fakta lapangan dan tidak adanya proses konsultasi dan jaminan terhadap ruang hidup dan keberlanjutan ekonomi masyarakat, serta persetujuan dari masyarakat dalam pelaksanaan project REDD akan semakinmenghilangkan akses dan kontrol rakyat terhadap sumber daya hutan dan lahan.
Catatan Akhir
Kampanye pemerintah dan dibanyak kalangan lainnya tentang skema REDD dengan benefit yang menguntungkan dengan cara penyelamatan hutan, penanaman kembali dan penyelamatan kawasan gambut dianggap sebagai solusi yang adil dalam mengatasi perubahan iklim. Tapi pada kenyataannya, masih banyak persoalan di sektor kehutanan yang harus dibereskan dan ini menyangkut hak dan kelola masyarakat terhadap hutan dan lahan, izin industri ekstraktif yang rakus akan tanah, bahan bakar fosil dan bahan mentah lainnya yang sangat merusak tidak hanya dari segi lingkungan tapi juga sosial. Belum lagi tingkah laku industri di negera-negara maju yang sangat konsumtif dan haus akan bahan bakar fosil, tapi disisi lain enggan menurunkan aktifitas industrinya yang justru meningkatkan jumlah karbon di atmosfer. Tumpukan masalah inilah yang semestinya harus dibereskan oleh negara dan mendesak negara-negara maju untuk berlaku adil dengan cara menurunkan emisi yang berasal dari aktifitas industri dan penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Kita sepakat bahwa perubahan iklim harus diantisipasi dan diatasi dengan baik demi keberlanjutan hidup kita dimasa-masa yang akan datang. Tapi tidak dengan cara pengabaian terhadap hak dan ruang hidup masyarakat. Jangan sampai ruang hidup rakyat terpenjara oleh karbon dengan alasan mengatasi perubahan iklim.
Ditulis oleh : Rian Hidayat

Comments

  1. Dear Sir; I am making an encyclopedia about all the ca. 300 dynasties of Indonesia. Also of the 7 dynasties of Gayo Alas.Want to contact these dynasties and know,who are the chiefs dynasty now. I have many dkumentasi to exchange. Thank you. Salam hormat: DP Tick facebook: Donald Tick pusaka.tick@kpnmail.nl

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara