Syiah Kuala Bukan Syi’ah Kuala!


APA yang ada didalam benak Anda ketika mendengar nama Universitas Syiah Kuala? Mungkin sebagian akan berspekulasi bahwa Universitas ini berpaham Syi’ah atau didirikan oleh seorang Syi’ah.

Tidak dipungkiri, bahwa banyak masyarakat dan segelintir orang dari luar Aceh terjebak pada penabalan nama “Syiah” pada Universitas terbesar di Aceh tersebut.

Sesungguhnya makna “Syiah” yang melekat pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bukanlah berarti Syi’ah atau berpaham Syi’ah.

Jika ditelusuri secara histori, “Syiah” yang melekat pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) diambil dari nama seorang ulama Ahlus-Sunnah (Sunni) yang sangat berpengaruh dan tersohor di zamannya.

Menurut cendekiawan Mulim Indonesia, Azyumardi Azra, Ulama ini bahkan menjadi salah satu orang yang paling bertanggung jawab dalam membuka jaringan Ulama di seluruh Nusantara, bahkan di dunia Internasional.

Berkat jasanya juga, orang-orang Indonesia kemudian masuk dalam jajaran jaringan ulama dunia.

Siapa Syiah Kuala?


Lahir di Singkil, Aceh 1024 Hijriyah/1615 Masehi, Abdurrauf begitulah nama yang dilekatkan kepada anak lelaki itu. Dalam pertumbuhannya kelak ia dikenal sebagai ulama Besar. Dan orang-orang dengan hormat memanggilnya dengan sebutan Syeikh Abdurrauf.

Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang dilengkapi dengan Syeikh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Oleh kharisma yang dimilikinya kemudian orang memberi sejumlah gelar seperti, Syeikh Kuala, Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala dan Teungku Syiah Kuala. (bahasa Aceh, artinya Syeikh Ulama di Kuala)

Disebut Syiah Kuala karena Syeh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wafatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh.

Syeikh Kuala memang bukan nama asing bagi masyarakat Aceh saja. Tetapi dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islam international. Syeikh Kuala atau Syeikh Abdurauf Singkil adalah tokoh tasawuf juga ahli fikih yang disegani.

Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Jazirah Arabia yang menetap di Singkil pada akhir Abad ke-13.

Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Bandar Aceh (Banda Aceh saat ini).

Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.

Syeikh Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pasai di Dayah Tinggi Syeikh Shamsyuddin as-Sumatrani. Dan setelah Syeikh Syamsuddin pindah ke Bandar Aceh, kemudian diangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Qadhi Malikul Adil.

Disebut pula Syeikh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 Ulama besar dan 15 orang Sufi termashur di Jazirah Arabia.

Beliau dikenal sebagai murid yang paling masyhur dari Ahmad Al Qusyasyi & Ibrahim Al Kurani yang merupakan seorang tokoh jaringan ulama di Mekkah dan Madinah.

Abd Al Rauf mempelajari berbagai disiplin ilmu islam mulai ilmu –ilmu yang ia sebut dengan “lahir”-seperti tata bahasa Arab, membaca Al Qur’an, hadist, syari’at,-sampai ilmu-ilmu batin “batin” mengenai tasawuf. Abd Al Rauf memperlihatkan bahwa ia mempelajari ilmu-ilmu lahir sebagian besr di Yaman.

Menurut sejarawan Aceh, Ali Hasjmi, Abdurrauf pernah belajar seni membaca Al Qur’an di Zabid dengan Syeikh Abd Allah Al Adani, yang ia sebut sebagai Qari terbaik di Yaman.

Lebih lanjut Hasjmi menyatakan bahwa ia pernah menghabiskan waktu yang paling panjang mempelajari ilmu-ilmu “lahir” dengan Syeikh Ibrahim bin Abd Allah Jam’an di Bait Al Faqih dan Mauza’ Syeikh Ibrahim Jam’anlah yang memperkenalkannya dengan Ahmad Al Qusyasyi yang dipandang oleh Syeikh Ibrahim sebagai seorang ulama terbesar pada zamannya.

Abdurrauf banyak memperoleh penghargaan yang tinggi dari para gurunya terutama Ahmad Al Qusyasyi dan Ibrahim Al Khulani.

Hingga Al Qusyasyi mengangkatnya sebagai Khalifah Syatariah agar menyebarkan tarekat ini ke kampung halamannya, kelak ketika kembali ke Aceh. Abd Al Rauf juga menjalin hubungan dengan keilmuan dengan ulama-ulama terkemuka di Madinah.

Ia mencantumkan dalam daftarnya para ulama seperti Mullah Muhammad Syarif Al Kurani, Ibrahim Al Kurani, Isa Al Magribi dan Ali Bashir Al Maliki Al Madani (w.1160/1694), Ibn Abd Al Rasul Al Barzanji, Sufi tersohor kala itu, Ibrahim bin Al Rahman Al Khiyari Al Madani (1047-83/1638-72) seorang murid Ala Al Din Al Babili, Al Babibili sendiri merupakan seorang Muhaddist terkemuka di Haramain kala itu.

Pengaruhnya sangat penting di Kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi;

“Adat bak Poteu Mereuhom, Hukom bak Syiah Kuala” maksudnya, “Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syeikh Kuala.

Ayat ini menjelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan. Ketika gabungan antara umara dan ulama inilah juga Aceh mencapai kegemilangan.

Sementara itu Hamka yang juga ahli filosofi dan ulama modern Indonesia, di dalam tulisannya pernah menurunkan sebaris kata-kata yang dinukilkan oleh Fakih Shaghir seorang ulama terkenal di zaman Perang Paderi, yaitu nenek kepada Sheikh Taher Jalaluddin az-Azhari (wafat pada 1956 di Kuala Kangsar), yang berbunyi:

“Maka adalah saya Fakih Shaghir menerima cerita daripada saya punya bapa, sebabnya saya mengambil pegangan ilmu hakikat, kerana cerita ini adalah ia setengah daripada adat dan tertib waruk orang yang mengambil fatwa juga adanya. Yakni adalah seorang aulia Allah dan khutub lagi kasyaf lagi mempunyai karamah iaitu, di tanah Aceh iaitu Tuan Syeikh Abdurrauf.”

Berdasarkan kronologi pengembaraan, proses berguru, dan juga fakta di lapangan, tak dapat dikaitkan syi’ah (aliran teologi dalam islam) dengan Syiah Kuala.

Dari uraian diatas sedikit banyak dapat digaris bawahi, bahwa Syiah Kuala dan Syi’ah (aliran teologi islam) tidak memiliki hubungaan sepesifik, terutama dalam konteks perguruan tinggi, lafazh Syiah sendiri berasal dari kata Syeikh yang mengalami afiliasi dengan lahjah setempat.

Sedangkan Kuala, merupakan lokasi makam beliau yang letaknya dekat muara sungai Aceh, sebab inilah beliau memperoleh nama sebutan Syiah Kuala / Teungku di Kuala.
Sumber: http://forum.viva.co.id/sejarah/1257935-syiah-kuala-bukan-syi%92ah-kuala.html

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara