Antara Aceh dan Kolombia : "Dua Negara di Dua Pilihan"
Kolombia, Sebuah negeri yang penuh dengan keindahan dan kekayaan alam yang luar biasa dan banyak sekali kemiripannya dengan Aceh. Mulai dari kekayaan alamnya, budayanya, bahkan hingga masalah gerilyawan dan konflik yang terjadi. Ada baiknya bila saya menuliskan ini agar bisa dijadikan perbandingan dan pertimbangan bagi masa depan Aceh.
Kolombia memang kaya sekali akan sumber daya alam terutama emas dan batu-batuan berharga seperti zamrud. Itulah yang menarik banyak Negara lain untuk datang dan menjajah serta menguasai. Spayol adalah salah satunya. Meskipun pada akhirnya Spayol berhasil menduduki sekian lama namun tidaklah mudah bagi Spayol untuk bisa berlama-lama karena Kolombia berhasil mempertahankan diri mereka dengan menjadi diri mereka sendiri.
Kebudayaan dan bahasa sangat mereka junjung tinggi. Jangan harap mereka mau minum kopi dari tempat lain. Bagi mereka, meminum kopi adalah bagian dari rutinitas dan budaya dan dengan meminum kopi asal negeri mereka sendiri, maka mereka bisa tetap memberikan sumbangsihnya pada bangsa dan Negara mereka. Mereka bangga sekali dengan hal ini dan jangan harap ada yang bisa mengubahnya selain bila memang mereka sendiri menginginkannya. Begitu juga dengan budaya menari.
Sepertinya, menari adalah sebuah kewajiban dan keharusan karena bila tidak bisa menari khas tarian mereka, maka akan dikucilkan. Dianggap tidak memiliki pengetahuan sopan santun dan etika karena dengan menari mereka bisa berkumpul bersama dan bersatu tanpa harus ada perbedaan. Tua muda, kaya miskin, perempuan pria, semuanya bisa menyatu. Bahkan lewat kegiatan-kegiatan seperti inilah politik persatuan mereka menjadi semakin kuat. Perlu diketahui juga bahwa orang Kolombia merupakan campuran dari berbagai etnis dunia. Indian, Eropa, Afrika, dan sedikit Asia. Sama seperti Aceh yang merupakan perpaduan dari berbagai macam etnis dunia?! Arab dan Eropa bisa dibilang sama karena asal muasal mereka sama dan struktur dari fisik mereka memang sama, begitu juga budaya.
Jika mereka ada yang menjadi berkulit hitam karena ada turunan dari Afrika, Aceh pun sama, dari India. Mirip sekali!!! Namun di sana tidak ada yang namanya perbedaan atas dari mana mereka berasal ataupun berdasarkan warna kulit dan keyakinan. Yang lebih diutamakan oleh mereka adalah solidaritas dan kebersamaan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itulah, bahasa mereka sangat junjung tinggi. Bahasa Spayol yang mereka gunakan bukanlah bahasa Spanyol sembarangan. Adalah pantangan bagi mereka untuk berbicara asal. Mereka selalu berusaha keras untuk menggunakan bahasa “kelas satu” untuk menjaga kualitas diri mereka sendiri.
Mereka sadar penuh bahwa bahasa menunjukkan identitas dan jati diri. Karena itulah mereka berusaha keras untuk mempertahankannya. Meskipun sebagian besar bisa berbahasa Inggris, tapi jangan harap mereka mau menggunakannya kecuali bila memang perlu. Ini adalah sebuah cara mereka sendiri untuk bertahan dari masuknya pengaruh asing yang bisa merugikan mereka sendiri. Mereka tidak malu untuk tetap demikian meski di era globalisasi ini pengaruh dari mana-mana datang dan ada sejuta cara untuk bisa terpengaruh. Mereka yakin sekali bahwa bahasa mereka adalah bahasa yang “berkelas” dan “bermutu tinggi”, yang merupakan hasil dari pemikiran serta budaya yang “tinggi” pula.
Bagaimana dengan bahasa Aceh?! Sudah banyak sekali yang berubah, ya?! Siapa yang masih mau mempelajari dan menggunakan bahasa Aceh yang baik dan benar?! Padahal siapa yang tidak salut dengan kemampuan orang Aceh dalam menulis yang merupakan kemampuan berbahasa yang sangat tinggi. Bagaimana Aceh bisa menjaga eksistensinya dan tetap memiliki kepribadian bila bahasanya sendiri tidak dihormati dan dihargai?!
Bunga mawar yang menjadi ciri khas Negara tersebut dijaga sedemikian rupa hingga bibitnya pun tidak boleh diekspor dan dijual ke Negara lain. Hukumannya sangat luar biasa sekali bagi mereka yang melakukannya atau bahkan mencoba mencurinya. Tidak peduli baik masyarakat mereka sendiri ataupun turis yang datang, bila kedapatan membawa bibit, maka akan dihukum keras sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Bagaimana dengan Seulanga, bunga khas Aceh? Seberapa banyak yang masih mempedulikan bunga ini dan menyimpannya selalu di dalam hati?! Jangan-jangan sudah banyak yang tidak tahu bahwa bunga ini adalah ciri khas Aceh?!
Untuk soal ganja dan opium, Kolombia adalah salah satu pemasok terbesar di dunia. Mereka tetap memproduksinya dan menjualnya untuk berbagai kepentingan dan keperluan. Tapi, bila ada warga negaranya yang kedapatan menggunakan ganja dan opium, hukumannya sangat berat. Adalah sebuah pilihan untuk menggunakannya, tetapi jangan pernah merusak diri sendiri. “Silahkan yang lain saja rusak, jangan diri sendiri,” mungkin begitulah kira-kira prinsip mereka dalam hal ini.
Tidak beda dengan Aceh, mereka juga dulu menggunakan ganja dan opium sebagai bagian dari budaya mereka tetapi mereka sadar penuh akan apa yang bisa dirusak dengan mengkonsumsi itu semua. Bisa saja mereka tetap menggunakannya untuk berbagai keperluan budaya, tetapi mereka memilih untuk tidak melakukannya sama sekali. Uang terus mengalir, tetapi siapa yang bisa mengalahkan mereka?! Uang tersebut bukan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan semata, tetapi memang mereka gunakan untuk membangun negaranya.
Bagaimana dengan Aceh?! Para gerilayawan dan pemberontak yang berjuang juga tidak sembarangan berjuang dan berontak. Mereka memang keras dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan namun mereka juga pandai sekali untuk mempersatukan diri dengan masyarakatnya. Semua sadar penuh bahwa apa yang dilakukan adalah untuk kepentingan bangsa dan negaranya, bukan hanya untuk kepentingan dan idealisme pribadi atau golongan saja, tetapi untuk semua. Yang mereka pertahankan adalah jati diri mereka dan diri mereka sebagai satu kesatuan utuh yang sesuai dengan akar dan budaya mereka bukan yang lain. Mereka berjuang untuk tetap menjadi diri mereka sendiri, bukan untuk mengubah yang lainnya menjadi seperti yang lain.
Bila membandingkannya dengan apa yang dilakukan oleh almarhum Hasan Tiro, tentunya banyak sekali kemiripan. Sayangnya, apa yang diperjuangkan oleh beliau itu barangkali “tidak sampai” kepada generasi berikutnya. Memang sangat tidak mudah untuk bisa mengerti dan memahami apa yang menjadi buah pikir dan pemikiran seseorang yang saya anggap jenius dan memiliki visi serta pandangan jauh ke depan. Sangat dibutuhkan kerendahan hati serta cinta yang penuh dan ketulusan untuk bisa mengerti dan memahaminya dengan baik.
Sejauh apa sebenarnya rakyat Aceh mengerti dan paham tentang beliau dan apa yang telah diberikan sebagai penghargaan dan penghormatan terhadap beliau?! Mempelajari setiap kata yang beliau ucapkan pun tidak mau meski mengangkat beliau sebagai Wali. Kata bisa bicara namun kata juga bisa berdusta karena apa yang dilakukan dan diterapkan adalah bukti nyata dari apa yang sebenarnya ada di dalam benak dan hati.
Lihatlah bagaimana dengan Aceh sekarang ini?! Perjuangan apa yang sebenarnya sedang dilakukan?! Bagaimana dengan identitas diri sebagai orang Aceh sendiri?! Apakah memang sekarang ini benar Aceh?! Apakah memang aturan dan peraturan yang menjadi sebuah keharusan dan kewajiban itu memang benar Aceh?! Apa tidak bisa membedakan mana yang budaya mana yang keyakinan hingga harus menghilangkan identitas dan jati diri sehingga menjadi pribadi yang labil dan goyah?! Bagaimana seseorang bisa mempertahankan diri bila tidak memiliki kepribadian yang kokoh dan kuat?! Bagaimana bisa memiliki kehidupan dan masa depan yang lebih baik?! Bermimpi saja terus?!
Kolombia sangat keras di dalam menjunjung tinggi soal etika dan moral. Mereka bahkan mewajibkan setiap rumah untuk mengenakan gorden berwarna putih, tidak boleh yang lain. Tujuannya adalah selain untuk menjaga keindahan, mereka juga menjaga agar tidak ada perbedaan yang terlalu menyolok antara satu dengan yang lainnya. Semua aturan dan peraturan bisa dibuat tetapi semua harus ada tujuan yang jelas tetapi mereka menggunakan pendekatan budaya dan memang benar-benar untuk keadilan bersama. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, lewat bahasa, tari-tarian, makanan, dan lain sebagainya sehingga keadilan dan adil yang merupakan prinsip dasar dari etika dan moral itu sendiri bisa diterapkan dengan baik.
Tidak ada yang perlu memaksa, dipaksakan ataupun terpaksa. Semua mau melakukannya untuk kepentingan bersama. Toh, mereka juga jadi tidak kehilangan jati diri. Malah mereka semakin kuat di dalam mengukuhkan siapa diri mereka serta merasa bangga dengan semua itu. Tidak perlu ada konflik antar mereka sendiri karena tidak ada yang harus diributkan, semuanya merasa nyaman karena mendapatkan keadilan yang merata dan menyeluruh.
Kolombia adalah sebuah Negara dengan mayoritas penduduk beragama Katholik yang sangat kuat sekali dan sangat menentang yang namanya pelacuran. Namun mereka tetap menghargai dan menghormati warganya yang memilih untuk menjadi pelacur dan menjadikan mereka sebagai Pekerja Seks Komersial yang professional. Mereka diberi hak untuk menentukan dengan siapa mereka mau melakukannya atas prinsip dasar kemanusiaan dan keadilan sehingga tidak terjadi paksaan dan keterpaksaan di dalam melakukannya. Ini juga berasarkan pertimbangan bahwa tidak mungkin pelacuran itu dihapuskan sama sekali, sehingga lebih baik dikontrol dan diorganisir dengan baik.
Paling tidak semuanya bisa dikendalikan dan tidak menjadi wabah yang bisa memberikan penyakit ke mana-mana. Urusan dosa, itu semua ditanggung oleh pribadi masing-masing. Memang terlihat sangat ekstrem dan berbeda jauh dengan pandangan kita sekarang ini karena kita sudah terbiasa dengan member nilai dan menjatuhkan hukuman tetapi tidak memberikan solusi untuk membantu mereka. Untuk memanusiakan manusia maka haruslah dengan cara yang manusiawi.
Kembali lagi ke Kolombia. Untuk urusan pendekatan hubungan luar negeri, mereka pun luar biasa sekali. Baru satu Negara yang mengundang penari dari Keraton Yogya untuk dipentaskan di teater opera kelas satu dan sangat mewah. Luar biasa megahnya! Bahkan di Indonesia pun barangkali belum pernah selain di Keraton. Sebegitu besar penghargaan dan penghormatan mereka terhadap budaya membuat yang lainnya pun merasa tersanjung dan terhormat sehingga kemudian ada rasa saling menghormati dan menghargai. Memang benar kata orang bijak, “Bila ingin dihormati dan dihargai, maka hargailah dan hormatilah orang lain.”
Kekuasaan bukan jaminan seseorang bisa dihormati dan dihargai, apalagi bila mengemis dan memintanya, atau memperdaya, berdusta, memfitnah, memusnahkan, dan menjatuhkan yang lainnya, maka tidak akan ada yang pernah bisa mendapatkannya. Kehormatan dan penghargaan itu hanya diberikan kepada mereka yang memang benar-benar pantas dan layak untuk diberikan atas dasar segala perbuatan dan tindakan, hasil karya, serta hati mereka sebagai seorang manusia yang seutuhnya. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih banyak yang memiliki padangan dan persepsi negatif terhadap Kolombia yang dianggap sebagai negeri penuh dengan kekerasan dan juga sebagai Negara yang keras kepala karena tidak mau berhenti memproduksi barang-barang yang dianggap “ilegal” tersebut.
Kekerasan itu akan selalu ada dan terjadi di mana pun selama tidak masih ada yang tidak menghormati dan menghargai juga selama kepentingan pribadi, kelompok, golongan itu tetap diprioritaskan, meski mengatasnamakan kepentingan bersama. Yang diperebutkan itu memang apa?! Tidak lebih dari urusan duniawi biarpun mengatasnamakan surga sekalipun. Siapa yang memiliki surga?! Khusus untuk barang-barang yang dianggap “illegal” itu, pertanyaan saya mudah saja. “Kenapa masih mau membelinya?!” Di mana ada konsumen, di sana ada produsen. Bodoh saja yang mau membelinya dan menggunakannya, mereka sama sekali tidak menggunakannya.
Lagipula, mereka tidak melakukan ini semua untuk melakukan tindakan kekerasan baik dengan mengatasnamakan keyakinan dan perjuangan untuk membela kebenaran dan Tuhan. Mereka hanya melakukannya untuk bisa memberikan fasilitas sosial yang membuat nyaman semua warganya. Beda banget dengan Afganishtan, diakui tidak diakui.
Bagaimana juga dengan di Aceh?! Apakah memang barang-barang itu yang haram ataukah perbuatannya yang membuat itu menjadi haram?! Begitu juga dengan legal dan illegal, memang barangnya yang membuat itu illegal, ataukah karena perbuatan yang menjadikannya illegal?! Semua barang-barang itu, kan, hanya benda, sementara manusialah yang memiliki kelebihan untuk berpikir dan menentukan pilihan serta menanggung sendiri semua resiko dan konsekuensinya. Mereka tidak peduli atas nilai yang diberikan karena yang tahu persis semuanya adalah diri mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Sekarang, bagaimana dengan Aceh?! Maukah belajar untuk bisa menghargai dan menghormati diri sendiri untuk bisa menjadi kuat dan kokoh ataukah memang terus saja membiarkan semuanya seperti sekarang ini hingga Aceh itu hilang dan lenyap dengan sendirinya?! Di manakah emas paling berharga milik Aceh itu sebenarnya?! Emas terindah itu di dalam setiap diri dan pribadi mereka yang mengaku Ureung Aceh?! Maukah mengasahnya agar berkilau dan memberikan keindahannya bagi Aceh sendiri?! Semua adalah pilihan. Silahkan menentukan pilihan dan mempertanggung-jawabkannya.
acehinstitute.org
Comments
Post a Comment