Skip to main content

Aceh Tenggara Negeri Leuser yang Perlu Komitmen


Aceh Tenggara Negeri Leuser yang Perlu Komitmen

tuhoe 12 asoe nanggroe Kutacane area as seen from airplane (panoramio.com - glavind)(Panoramio.com | glavind)
Secara tofografi, Aceh Tenggara dikelilingi oleh daerah perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini berada pada ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar pun terdapat di kabupaten ini.
Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, di antaranya adalah Sungai Alas yang sudah dikenal luas sebagai tempat olah raga arung sungai yang sangat menantang. Setelah mengalami gejolak konflik beberapa lama, Bupati dan Wakil Bupati Aceh Tenggara (Hasanuddin Beruh dan Syamsul Bahri) pada 1 September 2007 dilantik oleh Gubernur Aceh.
Ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk zona pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan-C yang sangat beragam dan potensial dalam jumlah cadangannya.
Kabupaten ini terdiri atas 16 kecamatan yaitu Babul Makmur, Babul Rahmat, Babussalam, Badar, Bambel, Bukit Tusam, Darul Hasanah, Lawe Alas, Lawe Bulan, Lawe Sigala-Gala, Semadam, Tanoh Alas, Ketambe, Leuser, Lawe Sumur, Deleng Pokhkisen.
Aceh Tenggara memiliki komposisi penduduk yang terdiri atas 11 etnis yang berbeda, yaitu Alas, Gayo, Batak, Pakpak, Singkil, Mandailing, Aceh, Karo, Padang, Jawa, dan Nias. Tak hanya itu, keberagaman keyakinan pun terlihat di daerah ini, terutama didominasi oleh Islam dan Kristen.
Keunikan yang dimiliki oleh Aceh Tenggara tersebut membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat yang berbeda kebudayaan saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, tidak pernah terjadi konflik antarpenduduk yang diakibatkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan tersebut terkesan damai dan asri heterogen.
Dalam buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas (Dr. Thalib Akbar, M.Sc, 2004), disebutkan etnis Alas memiliki sejumlah marga. Ia merindikan ada marga Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian, yang kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang, dan Tarigan.
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di tanah Alas, jelaslah bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat hidup berdiri sendiri, begitu juga dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten ini. Semua pihak perlu terlibat baik secara langsung maupun tidak. Keberagaman suku dan keyakinan akan menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat di sana dalam membangun daerahnya.
POTENSI SDA
tuhoe 12 asoe nanggroe ketambe (flickr.com_photos_24036196@N02) or Agara Media Album
(flickr.com/photos/24036196@N02)
Panorama yang menakjubkan di Kabupaten Aceh Tenggara menjadikan wilayah ini kaya sumber daya alam. Daerah ini dikelilingi oleh wilayah perbukitan dan pegunungan yang sangat indah. Ia merupakan zona inti dari Kawasan Ekosistem Gunung Leuser yang menjadi salah satu hutan paru-paru dunia. Kawasan ekosistem ini sangat dilindungi dan menjadi perhatian besar dunia internasional.
Aceh Tenggara memiliki luasan hutan lindung yang cukup terjaga keasriannya dan menjadi sumber manfaat yang utama untuk kesinambungan ekosistem di sekitarnya. Hutan lindung ini menyimpan kandungan air yang besar, menyimpan berbagai kekayaan alam, baik flora, fauna, maupun batu-batuan langka. Kondisi hutan lindung sebagian besar masih terjaga dengan baik. Pemerintah Daerah Aceh Tenggara maupun pusat memiliki komitmen melindungi daerah hutan ini agar terhindar dari perambahan liar oleh oknum-oknum yang merusak hutan.
Kawasan ekosistem ini dihuni oleh berbagai jenis flora fauna yang sangat langka. Beberapa spesies bahkan tidak terdapat di hutan lain di Indonesia. Jenis flora yang ada di kawasan hutan ini adalah bunga bangkai, anggrek liar, kantong semar, edelweis, raflesia acehensis, dan lain-lain. Untuk jenis fauna yang saat ini masih ada di antaranya orang utan, gajah, harimau sumatra, siamang, rusa, monyet, dan tapir.
Selain potensi keindahan alam dan keanekaragaman hayati yang terdapat di kabupaten ini, Aceh Tenggara merupakan salah satu kabupaten yang memproduksi hasil pertanian melimpah dan diekspor ke luar daerah. Hasil pertanian yang melimpah tersebut terdiri atas kemiri, jagung, padi, sawit, coklat. Penduduk di daerah ini juga banyak membuka kolam ikan mas untuk dijual ke luar daerah.
Potensi sumber wisata alam juga terdapat di sana, di antaranya yang terkenal adalah ketambe, yang menjadi pusat konservasi hutan lindung termasuk semua isi di dalamnya. Daerah ini dikenal sebagai paru–paru dunia dan memiliki pusat wisata untuk raftingtracking yang sangat menantang. Di kabupaten ini pula terdapat dua daerah yang memiliki sumber air panas (hotspring) walaupun tidak terdapat gunung berapi. Dua daerah itu adalah Kecamatan Babul Rahmah tepatnya di Kampung Uning Sigugur dan Kecamatan Ketambe tepatnya di Kampung Lawe Ger-ger.
Wisata air terjun itu dapat dijumpai di Kampung Lawe Dua, Kecamatan Bukit Tusam dan Lawe Sigala–gala. Kawasan wisata ini menawarkan keindahan alam yang sangat menakjubkan. Dapat pula dijumpai sungai yang masih asri dengan air terjunnya yang dikelilingi oleh perbukitan dan hutan yang sangat hijau dan indah.
Ada beberapa aturan masyarakat adat dalam upaya penyelamatan sumber daya alam yang di kabupaten Aceh Tenggara.
  • Dheleng (hutan) sebagai kekayaan imum/kepala mukim bersama rakyatnya di Tanah Alas adalah selebar wilayah kemukiman dengan panjang jauh ke dalam hutan ½ (setengah) hari perjalanan kaki atau hingga dhalan/pasakh mesosen, yang dimanfaatkan tidak merusak, agar aliran air sungai/pakhik jume tetap normal untuk pertanian/bersawah dan keperluan hidup rakyat.
  • Pencuri hasil hutan dan perusakannya (menebang kayu, pengambil rotan, dan produk non kayu tanpa sepengetahuan MAA kampung setempat dan tanpa izin dari imum/kepala mukim) dikenakan sanksi adat menyerahkan seluruh hasil curiannya ke kampung tempat kejadian pelanggaran adat. Pelaku dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
  • Bagi pengebom, peracun, penyetrum, dan pemusnahan ikan jurung, ciih khemis, dan ciih situ dan jenis ikan lainnya di sepanjang sungai Lawe Alas, sungai-sungai kecil, dan irigasi desa, termasuk seluruh tali air di Tanah Alas dikenakan saksi adat ngateken kesalahendan ikan tangkapan di luar ketentuan adat tersebut dikembalikan ke MAA setempat serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000) bagi si pelaku.
  • Seseorang yang mengambil ikan wilayah pinahan (lubuk larangan) dan sejenisnya tanpa izin masyarakat adat yang mengelola secara adat di Tanah Alas dikenakan saksi ngateken kesalahen dan ikan tangkapan tersebut dikembalikan ke MAA kampung setempat untuk diserahkan kepada pemiliknya serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
  • Orang yang mengambil, menangkap, atau memburu satwa liar dan sejenisnya tanpa izin MAA setempat, dikenakan saksi adat ngateken kesalahen dan hasil buruan/tangkapannya tersebut dikembalikan ke MAA setempat untuk diserahkan atau dikembalikan ke habitatnya bila masih hidup, dan dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).Zul Arma 
Sumber : http://www.jkma-aceh.org/haba/?p=1727#more-1727

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara