Gambaran dalam Payung Alas
Payung merupakan keperluan sehari-hari dalam kehidupan kita untuk menghindari dari teriknya matahari dan guyuran hujan.
pada awal 3500 tahun yang lalu, keberadaan payung telah ditemukan di Tiongkok, walau dalam bentuk yang sederhana, tetapa dari penemuan artapek yang ada ada anggapan bahwa payung sudah di gunakan 4000 tahun yang lalu di Mesir, yunani dan Cina. pada abad ke 19 bangsa Jepang dan Inggris sudah membuat payung juga hal ini hasil pertukaran budaya dari bangsa Cina, di Eropa Utara sebenarnya payung sudah di gunakan yang sebelumnya hanya untuk aksesoris kaum perempuan.
sedangkan di Nusantara Payung sebelumnya merupakan alat perlambangan kerajaan baik milik raja maupun bangsawan, seperti acara penobatan Sultan Ternate yang menyebutkan beberapa alat sebagai simbol raja, yaitu mahkota, kereta kerajaan dan Payung.
Bagi masyarakat Alas di Aceh Tenggara, keberadaan payung tak hanya berfungsi sebagai simbol adat pada upacara-upacara perkawinan, sunat rasul, atau prosesi penyambutan tamu-tamu penting saja.
Lebih dari itu, mereka meyakini payung memiliki "tuah" tersendiri yang sering dijadikan media untuk bernazar. Di wilayah pesisir payung adat umumnya berwarna kuning terang dengan sulaman dari kasab atau manik-manik motif Aceh. Di beberapa tempat seperti Aceh Barat dan Selatan ada juga payung berwarna merah.
Sedangkan di Alas payung adat berwarna hitam dengan bordiran berasal dari warna-warna merah, kuning, dan hijau, yang disebut dengan payung mesikhat.
Uniknya, motif payung mesikhat tidak terbuat dari kasab atau pun manik-manik, melainkan dibordir dengan gambar-gambar khusus yang menceritakan perjalanan masyarakat Alas semasa lajang hingga selesai prosesi perkawinan.
Banyak hal bisa diambil dari gambar-gambar tersebut adalah:
Sedang Bujang, gambar ini menunjukkan bagaimana pergaulan muda-mudi alas diatur oleh adat istiadat, beberapa aturan dalam keseharian muda-mudi alas tidak di boleh menjalin hubungan dengan "anak malu" yang artinya muda-mudi yang tinggal se-kampung, satu marga dan yang di katagorikan muhrim dalam agama islam.
Nembah Mido Hukum, bila sudah ada niat berumah tangga/menikah maka pasangan menjumpai wali dari pihak perempuan untuk meminta diberi hukum adat dan agama sebagai pasangan suami-istri, istilah "ngampeken" dalam hukum adat alas untuk pasangan yang kawin lari atau pernikahan yang tidak direstui oleh wali dari pihak calon mempelai perempuan ini merupakan aib bagi orang alas.
Sedang Nutu, bila setelah ada persetujuan dari wali untuk upacara memberi hukum secara adat dan agama, maka segenap warga akan bergotong royong mempersiapkan acara pesta tersebut seperti menggiling padi secara tradisional yang disebut "nutu" dalam bahasa alas oleh kaum perempuan dan untuk kaum laki-laki biasanya menyiapkan "lape" tempat untuk memasak dan tempat menerima tamu di halaman rumah serta mencarikan buah nangka, kelapa, pepaya dan keperluan pesta lainnya
Sohken Bekhas Seselup Lawe Sentabu, dalam acara hukum adatnya ada prosesi dimana mempelai perempuan memberikan beras satu bambu dan air dalam tabu yang sudah di olah menjadi tempat penyimpan air kepada ibu mempelai perempuan, hal ini dianggap sebagai tukar ganti dari perempuan kepada ibunya yang selama ini membantu pekerjaan ibunya, karena setelah menikah mempelai perempuan akan tinggal di rumah mempelai lelaki.
Antat Takhuh, Mempelai perempuan akan di antar ke rumah mempelai lelaki oleh segenap warga desa asal mempelai perempuan.
Jinto Kude, saudara laki-laki ibu mempelai perempuan dalam bahasa alas disebut "mame" biasanya menyiapkan kuda untuk tungganggan mempelai perempuan dan mempelai laki-laki diarak oleh peserta antat takhuh menuju rumah mempelai lelaki.
Pesandingken, setelah sampai kerumah mempelai lelaki pasangan mempelai di dudukkan bersandingkan untuk dilihat oleh warga desa dan undangan, untuk disamami sambil mengucapkan selamat menjadi penganten baru.
Laus Tandang, setelah perempuan tinggal dirumah lelaki sebagai suami-istri, hubungan silaturahmi dengan keluarga pihak istri harus tetap di jaga dengan mengunjungi orang tua perempuan dalam hari-hari adat dengan membawa makanan yang telah dimasak dimasukkan kedalam rantang.
Pembuat mesikhat tak boleh asal-asalan, minimal mereka harus mengetahui budaya masyarakat Alas, dan memiliki ketelatenan serta kesabaran tinggi. Karena tak mudah, di Alas tidak banyak yang bisa membuat payung tersebut.
Comments
Post a Comment