Bank Pro-Rakyat (Catatan untuk Bank Aceh)
DIPILIH dan ditetapkannya Islamuddin menjadi Direktur Utama dan T.Setia Budi sebagai Komisaris Utama Bank Aceh menjadi catatan baru atas sejarah yang akan ditoreh pada masa mendatang. Cita-cita bisnis baru Bank Aceh mesti ditetapkan supaya perjalanannya ke depan memiliki kejelasan bagi bangkitnya ekonomi Aceh. Kegemilangan dan kegagalan yang terjadi di masa kepengurusan sebelumnya dapat menjadi pelajaran bagi kepengurusan sekarang dalam membangun masa depan Bank Aceh khususnya dan membangun ekonomi Aceh pada umumnya.
Transformasi Bank Aceh mesti dilakukan secara menyeluruh, mengakar dan mengorientasikan pembangunan perbankan pada pengembangan ekonomi-bisnis maupun sosio-bisnis. Hal ini penting disebabkan oleh kondisi ekonomi Aceh yang mengalami keterpurukan luar biasa. Disorientasi pembangunan ekonomi dinodai oleh kebijakan pemerintah Aceh yang menghancurkan mentalitas masyarakat melalui berbagai program bantuan langsung dalam bentuk program yang beragam. Sehingga, kondisi sosio-bisnis pun mengalami kehancurannya, pendekatan-pendekatan tradisional yang telah lama terbangun dan mengakar menjadi asing dalam membangkitkan usaha-usaha masyarakat.
Kepengurusan baru, para komisaris dan direksi, diharapkan dapat mengambil hikmah atas berbagai polemik selama masa pergantian kepengurusan. Hampir setahun masa suksesi pergantian kepengurusan, berbagai trik politik dimainkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, baik kepentingan personalnya maupun kepentingan bersama. Hikmahnya, berbagai dinamika tersebut dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi masyarakat Aceh, bahwa upaya mengkonstruksikan kepentingan bersama untuk mewujudkan suatu perubahan memiliki pengorbanan. Semua pihak mesti berjibaku atas kepentingan masing-masing, sehingga di akhir drama lahirnya kepengurusan yang bersih dalam perusahaan Bank Aceh. Semoga terpilihnya orang-orang baik dan bersih di jajaran kepengurusan Bank Aceh menjadi awal mula terpilihnya pemimpin-pemimpin Aceh yang baik dan bersih pula, tidak seperti pemimpin-pemimpin yang saat ini sedang menjabat.
Dengan kepengurusan yang baru, masyarakat berharap orientasi Bank Aceh dapat memihak masyarakat bawah (pro-rakyat). Harapan ini perlu disampaikan, sebab selama ini perjalanan Bank Pembangunan Daerah (BPD) selalu berhubungan dengan pelayanan kepada para pemimpin birokrat, pemilik kekuasaan (pemimpin politik), pemiliki modal dan pelayanan tersebut hanya sampai pada bapak-ibu yang bekerja di jajaran pemerintahan.
Walaupun dana triliunan rupiah yang dikelola Bank Pembangunan Daerah, tetapi sangat kecil jumlahnya mengalir pada tumbuhnya usaha-usaha di sektor riil. Sehingga walaupun uang yang beredar di Aceh puluhan triliun, tetapi sejauh ini keberhasilannya baru sebatas menciptakan kelas menengah baru dan elit baru, sedangkan masyarakat bawah hanya mampu mempertahankan hidupnya melalui kerja keras dengan sumber daya yang terbatas.
Selama ini, pengembangan sektor ril dalam masyarakat dijalankan seperti kata pepatah “Ta meugo-meugo prut tro aneuk na”, sehingga masyarakat belum mampu berpikir untuk meningkatkan produksi, mengolah hasil produksi, apalagi memasarkan hasil produksi dengan harga yang terjamin. Semua hal itu terjadi akibat oleh ketidakhadiran aparatur pemerintah di tengah-tengah masyarakat, walaupun di Lamteuba sudah 5 ekor sapi yang mati, walaupun di takengon kopinya sudah berlubang-lubang, walaupun di Lamnga udangnya gagal panen.
Atas gambaran di atas, maka kepengurusan baru Bank Aceh dapat menginspirasikan orientasi baru dalam perjalanan Bank Aceh ke depan. Bank Aceh mesti menetapkan kebijakan ekonomi-bisnis yang mampu memperbaiki sosio-bisnis yang selama ini telah hancur. Bank Aceh dapat membangun komitmen baru untuk mengangkat derajat para petani, nelayan, dan peternak menjadi aktor-aktor ekonomi yang mampu meningkatkan produksinya dan memroduksi dengan mutu dan kualitas yang tinggi. Bank Aceh dapat memperkenalkan dan memrakarsai munculnya unit-unit usaha yang mengolah hasil produksi yang telah diproduksikan oleh petani, nelayan dan peternak. Inilah cita-cita yang selama ini terpendam dan sudah berkali-kali dilakukan tetapi tetap saja agen, pengumpul, toke, dan saudagar-saudagar saja yang diuntungkan.
Selanjutnya, kalau kebiasaan selama ini Bank Pembangunan Daerah selalu memberikan pelayanan kepada para pemimpin birokrat, pemimpin politik dan pemilik modal maka ke depan masyarakat juga berharap kepada kepengurusan baru dapat menghentikan praktik-praktik demikian. Karena dengan tingginya pelayanan yang diberikan ke mereka, kerugian Aceh sangatlah tinggi. Semestinya Bank Aceh dapat menggunakan dana tersebut untuk membiayai pendidikan anak-anak miskin di pedesaan sampai menjadi sarjana, sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku bisnis baru yang mampu membuka lapangan kerja bagi pemuda-pemuda lain di desa-desa mereka.
Akhirnya, semoga perubahan Aceh dapat terinspirasi dari dinamika suksesi pergantian kepengurusan Bank Aceh. Berdasarkan amatan penulis, ternyata ketidakbenaran yang digerakkan para pihak dapat dikalahkan oleh kebenaran yang dijalankan sesuai dengan prosedur aturan dan hukum yang telah disepakati. Intervensi penguasa politik, intervensi pemiliki kekuasaan, dan intervensi uang sekalipun seakan tidak ada apa-apanya ketika berhadapan dengan rasionalitas berpikir, berperilaku benar, bertindak secara sehat untuk mewujudkan kepentingan perubahan Bank Aceh dari konsumtif ke pengembangan ekonomi pro-pemerataan.
* Juanda Djamal adalah Sekjen Konsorsium Aceh Baru.
Transformasi Bank Aceh mesti dilakukan secara menyeluruh, mengakar dan mengorientasikan pembangunan perbankan pada pengembangan ekonomi-bisnis maupun sosio-bisnis. Hal ini penting disebabkan oleh kondisi ekonomi Aceh yang mengalami keterpurukan luar biasa. Disorientasi pembangunan ekonomi dinodai oleh kebijakan pemerintah Aceh yang menghancurkan mentalitas masyarakat melalui berbagai program bantuan langsung dalam bentuk program yang beragam. Sehingga, kondisi sosio-bisnis pun mengalami kehancurannya, pendekatan-pendekatan tradisional yang telah lama terbangun dan mengakar menjadi asing dalam membangkitkan usaha-usaha masyarakat.
Kepengurusan baru, para komisaris dan direksi, diharapkan dapat mengambil hikmah atas berbagai polemik selama masa pergantian kepengurusan. Hampir setahun masa suksesi pergantian kepengurusan, berbagai trik politik dimainkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, baik kepentingan personalnya maupun kepentingan bersama. Hikmahnya, berbagai dinamika tersebut dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi masyarakat Aceh, bahwa upaya mengkonstruksikan kepentingan bersama untuk mewujudkan suatu perubahan memiliki pengorbanan. Semua pihak mesti berjibaku atas kepentingan masing-masing, sehingga di akhir drama lahirnya kepengurusan yang bersih dalam perusahaan Bank Aceh. Semoga terpilihnya orang-orang baik dan bersih di jajaran kepengurusan Bank Aceh menjadi awal mula terpilihnya pemimpin-pemimpin Aceh yang baik dan bersih pula, tidak seperti pemimpin-pemimpin yang saat ini sedang menjabat.
Dengan kepengurusan yang baru, masyarakat berharap orientasi Bank Aceh dapat memihak masyarakat bawah (pro-rakyat). Harapan ini perlu disampaikan, sebab selama ini perjalanan Bank Pembangunan Daerah (BPD) selalu berhubungan dengan pelayanan kepada para pemimpin birokrat, pemilik kekuasaan (pemimpin politik), pemiliki modal dan pelayanan tersebut hanya sampai pada bapak-ibu yang bekerja di jajaran pemerintahan.
Walaupun dana triliunan rupiah yang dikelola Bank Pembangunan Daerah, tetapi sangat kecil jumlahnya mengalir pada tumbuhnya usaha-usaha di sektor riil. Sehingga walaupun uang yang beredar di Aceh puluhan triliun, tetapi sejauh ini keberhasilannya baru sebatas menciptakan kelas menengah baru dan elit baru, sedangkan masyarakat bawah hanya mampu mempertahankan hidupnya melalui kerja keras dengan sumber daya yang terbatas.
Selama ini, pengembangan sektor ril dalam masyarakat dijalankan seperti kata pepatah “Ta meugo-meugo prut tro aneuk na”, sehingga masyarakat belum mampu berpikir untuk meningkatkan produksi, mengolah hasil produksi, apalagi memasarkan hasil produksi dengan harga yang terjamin. Semua hal itu terjadi akibat oleh ketidakhadiran aparatur pemerintah di tengah-tengah masyarakat, walaupun di Lamteuba sudah 5 ekor sapi yang mati, walaupun di takengon kopinya sudah berlubang-lubang, walaupun di Lamnga udangnya gagal panen.
Atas gambaran di atas, maka kepengurusan baru Bank Aceh dapat menginspirasikan orientasi baru dalam perjalanan Bank Aceh ke depan. Bank Aceh mesti menetapkan kebijakan ekonomi-bisnis yang mampu memperbaiki sosio-bisnis yang selama ini telah hancur. Bank Aceh dapat membangun komitmen baru untuk mengangkat derajat para petani, nelayan, dan peternak menjadi aktor-aktor ekonomi yang mampu meningkatkan produksinya dan memroduksi dengan mutu dan kualitas yang tinggi. Bank Aceh dapat memperkenalkan dan memrakarsai munculnya unit-unit usaha yang mengolah hasil produksi yang telah diproduksikan oleh petani, nelayan dan peternak. Inilah cita-cita yang selama ini terpendam dan sudah berkali-kali dilakukan tetapi tetap saja agen, pengumpul, toke, dan saudagar-saudagar saja yang diuntungkan.
Selanjutnya, kalau kebiasaan selama ini Bank Pembangunan Daerah selalu memberikan pelayanan kepada para pemimpin birokrat, pemimpin politik dan pemilik modal maka ke depan masyarakat juga berharap kepada kepengurusan baru dapat menghentikan praktik-praktik demikian. Karena dengan tingginya pelayanan yang diberikan ke mereka, kerugian Aceh sangatlah tinggi. Semestinya Bank Aceh dapat menggunakan dana tersebut untuk membiayai pendidikan anak-anak miskin di pedesaan sampai menjadi sarjana, sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku bisnis baru yang mampu membuka lapangan kerja bagi pemuda-pemuda lain di desa-desa mereka.
Akhirnya, semoga perubahan Aceh dapat terinspirasi dari dinamika suksesi pergantian kepengurusan Bank Aceh. Berdasarkan amatan penulis, ternyata ketidakbenaran yang digerakkan para pihak dapat dikalahkan oleh kebenaran yang dijalankan sesuai dengan prosedur aturan dan hukum yang telah disepakati. Intervensi penguasa politik, intervensi pemiliki kekuasaan, dan intervensi uang sekalipun seakan tidak ada apa-apanya ketika berhadapan dengan rasionalitas berpikir, berperilaku benar, bertindak secara sehat untuk mewujudkan kepentingan perubahan Bank Aceh dari konsumtif ke pengembangan ekonomi pro-pemerataan.
* Juanda Djamal adalah Sekjen Konsorsium Aceh Baru.
Comments
Post a Comment