Orang Aceh Malas?
ADA yang menarik saat pengusaha Hermes Thamrin menyatakan investor masih enggan berinvestasi di Aceh di samping karena faktor keamanan ada stigma orang Aceh pemalas (Serambi Indonesia, Senin 31 Januari 2011). Anggapan yang keluar dari mulut pebisnis kelas kakap itu patut dicermati dan menjadi perhatian serius kita semua. Dasar apa yang membuat munculnya stigma seperti itu? Benarkah orang Aceh pemalas?
Dalam masyarakat kita yang sangat majemuk baik suku, bahasa, maupun kepercayaan berkembang klaim-klaim suku atau bangsa yang satu terhadap bangsa lain. Misalnya, ada klaim suku X suka kawin, suku Y pelit, suku Z penganut ilmu hitam, dan sebagainya. Akibatnya, para orang tua pernah berpesan, “Kamu nak jangan kawin dengan suku X kalau tak ingin dimadu, jangan cari jodoh suku Y karena mereka hanya memperhatikan keluarganya dan menelantarkan keluargamu, dan janganlah menikah dengan suku Z karena kamu akan diguna-gunai agar selalu menuruti kehendaknya.
Saya menduga klaim-klaim itu muncul berdasarkan pengalaman pribadi seseorang yang kemudian berkembang dari mulut ke mulut sampai akhirnya terkristal dalam generalisasi sehingga klaim itu berkembang luas di masyarakat. Namun, klaim-klaim yang demikian, lambat laun jarang terdengar seiring semakin baiknya tingkat pendidikan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rasional pula orang berpikir. Artinya, stigma semacam itu tidak memiliki rasionalitas yang kuat karena fakta yang dikemukakan bersifat kasuistis. Pengalaman menunjukkan semua manusia sama. Saya memiliki teman dari suku yang diklaim pelit, ternyata mereka tidak pelit bahkan cenderung royal. Sebaliknya, ada teman yang sukunya diklaim tidak pelit ternyata kikirnya luar biasa.
Stigma orang Aceh pemalas juga didasarkan pengalaman seseorang atau kelompok orang yang pernah berkerja sama dengan orang Aceh. Seorang teman pernah mengeluh tentang tukang rumahnya yang kebetulan orang Aceh. Ia bercerita, tukangnya datang paling cepat pukul 9, kerja satu jam, lalu pukul 10 istirahat minum kopi dan merokok, pukul 11 baru kerja lagi lalu pukul 12 sudah istirahat makan siang. Belum lagi cara bekerjanya lambat, tidak rapi, dan sebagainya. Lebih parah, baru tiga hari bekerja sudah berani berhutang. Cerita yang sama juga terdengar dari para kontraktor dan pengusaha yang memperkerjakan orang Aceh. Mereka selalu membandingkan bahwa pekerja yang didatangkan dari luar lebih rajin dan beretos kerja tinggi daripada orang Aceh.
Dalam berbagai diskusi terungkap bahwa soal etos kerja dapat dijelaskan dengan sejumlah teori. Pertama, terkait dengan faktor alam. Negara-negara yang sumber daya alamnya melimpah seperti Indonesia, Brunei, Arab Saudi, rakyaknya (pribumi) cenderung berperilaku malas karena dininabobokkan oleh kekayaan alamnya. Semua sudah disediakan oleh alam sehingga tidak perlu bekerja keras. Tanah yang subur membuat apapun yang ditanam akan tumbuh. Berbagai hasil tambang seperti minyak, gas, batubara, emas, timah, dan sebagainya tersedia dalam jumlah besar. Lautan yang luas menyimpan sumber daya laut yang tidak terbatas. Koes Plus dalam satu syair lagunya menyebut laut Indonesia ibarat kolam susu dan begitu suburnya tanah membuat tongkat dan batu pun bisa tumbuh sebagai tanaman.
Fasilitas mewah dari alam inilah membuat manusia yang hidup di dalamnya menjadi kurang termotivasi bekerja karena semua mudah didapat. Sebaliknya, negara-negara yang sumberdaya alamnya kurang mendukung seperti Jepang, Korea, Amerika, sejumlah negara di Eropa, memiliki etos kerja yang tinggi karena alam memaksa mereka untuk bekerja keras agar bisa bertahan hidup.
Negara-negara dengan sumber daya alam melimpah akan beruntung bila dipimpin oleh pemimpin yang adil dan tidak korup, sehingga meskipun rakyatnya cenderung malas tetapi tetap dapat hidup dengan makmur karena kekayaan alamnya mampu membiayai semuanya. Negara seperti Arab Saudi dan Brunei misalnya, meskipun rakyatnya tidak memiliki etos kerja yang tinggi tetapi dapat hidup berkecukupan. Sebaliknya, rakyat Indonesia banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan karena pemimpinnya tidak adil dan korup.
Aceh salah satu provinsi terkaya. Ada yang mengatakan jika kekayaan Aceh diperuntukkan secara proporsional untuk orang Aceh, maka kemakmurannya bisa melebihi apa yang dirasakan rakyat Brunei. Jika kita setuju dengan teori bahwa kekayaan alam bisa membuat penduduknya cenderung malas, maka klaim bahwa orang Aceh malas mungkin bisa dijawab dengan teori ini.
Kedua, teori yang mengatakan kemalasan terkait dengan lingkungan dan tantangan kehidupan. Orang yang bekerja di daerah kelahirannya (kampungnya) biasanya cenderung memiliki etos kerja yang lebih rendah dibandingkan pekerja pendatang. Pekerja pribumi (asoe lhok) memiliki tantangan kehidupan yang lebih rendah karena hidup dalam lingkungan keluarga besar dan sanak famili. Jika mengalami kesulitan masih banyak tempat mengadu. Sementara pekerja pendatang hidup sebatang kara di perantauan sehingga untuk dapat bertahan hidup tidak ada jalan lain kecuali bekerja keras. Di samping itu, perantau biasanya mempunyai tujuan dan target yang jelas untuk apa ia bekerja. Mengacu pada teori ini, wajar bila pekerja Aceh yang berkerja di Aceh lebih rendah etos kerjanya bila dibandingkan dengan pendatang karena memang status pribumi dan perantau berpengaruh pada etos kerja. Tidak fair jika dikatakan orang Aceh malas dibandingkan suku lainnya. Artinya, suku lain pun bila bekerja di daerah asalnya akan tidak serajin bila ia merantau. Sebaliknya, jika orang Aceh berstatus perantau ia akan memiliki etos kerja yang tinggi pula. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya putra Aceh yang sukses ketika mereka berkiprah di luar Aceh. Hampir di seluruh kota di Indonesia ditemukan putra-putra Aceh yang sukses di berbagai sektor pekerjaan.
Teori lain yang lebih netral mengatakan soal malas atau rajin itu sangat individualistik dan bergantung pada moral, motivasi, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Malas atau rajin merupakan sifat yang tidak mengenal suku bangsa. Siapapun bisa malas atau rajin bergantung bagaimana seseorang memandang dan memaknai kehidupan. Orang yang tidak tahu untuk apa mereka hidup di dunia ini bertendensi hidup hura-hura, tanpa arah, dan bermalasan. Sebaliknya, mereka yang memaknai kehidupan adalah sebuah pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan baik habluminannas maupun habluminallah, biasanya memiliki perencanaan hidup yang matang, etos kerja yang tinggi, kecerdasan emosional dan spritual yang baik, dan berupaya keras untuk membahagiakan orang lain. Semua ajaran tentang hakikat kehidupan yang ideal itu telah termaktub dalam ajaran agama kita.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa menanamkan dan mengubah pola pikir sebagian masyarakat kita yang masih keliru dalam memandang kehidupan agar mereka dapat memaknai kehidupan sesuai ajaran agamanya. Salah satu carannya melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana efektif untuk membentuk mental seseorang. Jika upaya ini terus dilakukan, masyarakat kita akan dapat memaknai untuk apa ia hidup. Dan bila sudah paham tentang arti dan tujuan hidup, niscaya mereka akan berkerja keras untuk menggapai tujuan itu. Jika itu terwujud, kita optimis, stigma orang Aceh pemalas perlahan tapi pasti akan tereliminasi dengan sendirinya.
* Penulis adalah dosen PBSI FKIP Unsyiah.
Dalam masyarakat kita yang sangat majemuk baik suku, bahasa, maupun kepercayaan berkembang klaim-klaim suku atau bangsa yang satu terhadap bangsa lain. Misalnya, ada klaim suku X suka kawin, suku Y pelit, suku Z penganut ilmu hitam, dan sebagainya. Akibatnya, para orang tua pernah berpesan, “Kamu nak jangan kawin dengan suku X kalau tak ingin dimadu, jangan cari jodoh suku Y karena mereka hanya memperhatikan keluarganya dan menelantarkan keluargamu, dan janganlah menikah dengan suku Z karena kamu akan diguna-gunai agar selalu menuruti kehendaknya.
Saya menduga klaim-klaim itu muncul berdasarkan pengalaman pribadi seseorang yang kemudian berkembang dari mulut ke mulut sampai akhirnya terkristal dalam generalisasi sehingga klaim itu berkembang luas di masyarakat. Namun, klaim-klaim yang demikian, lambat laun jarang terdengar seiring semakin baiknya tingkat pendidikan masyarakat. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rasional pula orang berpikir. Artinya, stigma semacam itu tidak memiliki rasionalitas yang kuat karena fakta yang dikemukakan bersifat kasuistis. Pengalaman menunjukkan semua manusia sama. Saya memiliki teman dari suku yang diklaim pelit, ternyata mereka tidak pelit bahkan cenderung royal. Sebaliknya, ada teman yang sukunya diklaim tidak pelit ternyata kikirnya luar biasa.
Stigma orang Aceh pemalas juga didasarkan pengalaman seseorang atau kelompok orang yang pernah berkerja sama dengan orang Aceh. Seorang teman pernah mengeluh tentang tukang rumahnya yang kebetulan orang Aceh. Ia bercerita, tukangnya datang paling cepat pukul 9, kerja satu jam, lalu pukul 10 istirahat minum kopi dan merokok, pukul 11 baru kerja lagi lalu pukul 12 sudah istirahat makan siang. Belum lagi cara bekerjanya lambat, tidak rapi, dan sebagainya. Lebih parah, baru tiga hari bekerja sudah berani berhutang. Cerita yang sama juga terdengar dari para kontraktor dan pengusaha yang memperkerjakan orang Aceh. Mereka selalu membandingkan bahwa pekerja yang didatangkan dari luar lebih rajin dan beretos kerja tinggi daripada orang Aceh.
Dalam berbagai diskusi terungkap bahwa soal etos kerja dapat dijelaskan dengan sejumlah teori. Pertama, terkait dengan faktor alam. Negara-negara yang sumber daya alamnya melimpah seperti Indonesia, Brunei, Arab Saudi, rakyaknya (pribumi) cenderung berperilaku malas karena dininabobokkan oleh kekayaan alamnya. Semua sudah disediakan oleh alam sehingga tidak perlu bekerja keras. Tanah yang subur membuat apapun yang ditanam akan tumbuh. Berbagai hasil tambang seperti minyak, gas, batubara, emas, timah, dan sebagainya tersedia dalam jumlah besar. Lautan yang luas menyimpan sumber daya laut yang tidak terbatas. Koes Plus dalam satu syair lagunya menyebut laut Indonesia ibarat kolam susu dan begitu suburnya tanah membuat tongkat dan batu pun bisa tumbuh sebagai tanaman.
Fasilitas mewah dari alam inilah membuat manusia yang hidup di dalamnya menjadi kurang termotivasi bekerja karena semua mudah didapat. Sebaliknya, negara-negara yang sumberdaya alamnya kurang mendukung seperti Jepang, Korea, Amerika, sejumlah negara di Eropa, memiliki etos kerja yang tinggi karena alam memaksa mereka untuk bekerja keras agar bisa bertahan hidup.
Negara-negara dengan sumber daya alam melimpah akan beruntung bila dipimpin oleh pemimpin yang adil dan tidak korup, sehingga meskipun rakyatnya cenderung malas tetapi tetap dapat hidup dengan makmur karena kekayaan alamnya mampu membiayai semuanya. Negara seperti Arab Saudi dan Brunei misalnya, meskipun rakyatnya tidak memiliki etos kerja yang tinggi tetapi dapat hidup berkecukupan. Sebaliknya, rakyat Indonesia banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan karena pemimpinnya tidak adil dan korup.
Aceh salah satu provinsi terkaya. Ada yang mengatakan jika kekayaan Aceh diperuntukkan secara proporsional untuk orang Aceh, maka kemakmurannya bisa melebihi apa yang dirasakan rakyat Brunei. Jika kita setuju dengan teori bahwa kekayaan alam bisa membuat penduduknya cenderung malas, maka klaim bahwa orang Aceh malas mungkin bisa dijawab dengan teori ini.
Kedua, teori yang mengatakan kemalasan terkait dengan lingkungan dan tantangan kehidupan. Orang yang bekerja di daerah kelahirannya (kampungnya) biasanya cenderung memiliki etos kerja yang lebih rendah dibandingkan pekerja pendatang. Pekerja pribumi (asoe lhok) memiliki tantangan kehidupan yang lebih rendah karena hidup dalam lingkungan keluarga besar dan sanak famili. Jika mengalami kesulitan masih banyak tempat mengadu. Sementara pekerja pendatang hidup sebatang kara di perantauan sehingga untuk dapat bertahan hidup tidak ada jalan lain kecuali bekerja keras. Di samping itu, perantau biasanya mempunyai tujuan dan target yang jelas untuk apa ia bekerja. Mengacu pada teori ini, wajar bila pekerja Aceh yang berkerja di Aceh lebih rendah etos kerjanya bila dibandingkan dengan pendatang karena memang status pribumi dan perantau berpengaruh pada etos kerja. Tidak fair jika dikatakan orang Aceh malas dibandingkan suku lainnya. Artinya, suku lain pun bila bekerja di daerah asalnya akan tidak serajin bila ia merantau. Sebaliknya, jika orang Aceh berstatus perantau ia akan memiliki etos kerja yang tinggi pula. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya putra Aceh yang sukses ketika mereka berkiprah di luar Aceh. Hampir di seluruh kota di Indonesia ditemukan putra-putra Aceh yang sukses di berbagai sektor pekerjaan.
Teori lain yang lebih netral mengatakan soal malas atau rajin itu sangat individualistik dan bergantung pada moral, motivasi, rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang lain. Malas atau rajin merupakan sifat yang tidak mengenal suku bangsa. Siapapun bisa malas atau rajin bergantung bagaimana seseorang memandang dan memaknai kehidupan. Orang yang tidak tahu untuk apa mereka hidup di dunia ini bertendensi hidup hura-hura, tanpa arah, dan bermalasan. Sebaliknya, mereka yang memaknai kehidupan adalah sebuah pengabdian yang harus dipertanggungjawabkan baik habluminannas maupun habluminallah, biasanya memiliki perencanaan hidup yang matang, etos kerja yang tinggi, kecerdasan emosional dan spritual yang baik, dan berupaya keras untuk membahagiakan orang lain. Semua ajaran tentang hakikat kehidupan yang ideal itu telah termaktub dalam ajaran agama kita.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana kita bisa menanamkan dan mengubah pola pikir sebagian masyarakat kita yang masih keliru dalam memandang kehidupan agar mereka dapat memaknai kehidupan sesuai ajaran agamanya. Salah satu carannya melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana efektif untuk membentuk mental seseorang. Jika upaya ini terus dilakukan, masyarakat kita akan dapat memaknai untuk apa ia hidup. Dan bila sudah paham tentang arti dan tujuan hidup, niscaya mereka akan berkerja keras untuk menggapai tujuan itu. Jika itu terwujud, kita optimis, stigma orang Aceh pemalas perlahan tapi pasti akan tereliminasi dengan sendirinya.
* Penulis adalah dosen PBSI FKIP Unsyiah.
Comments
Post a Comment