Geliat PSK di Kutacane

SEBAGAI bagian dari kawasan Aceh, Kabupaten Aceh Tenggara merupakan sebuah daerah yang juga telah memberlakukan Qanun Syariat Islam. Akan tetapi, penerapan syariat Islam sejak dahulu hingga kini sangat lemah di daerah yang mendapat julukan Bumi Sepakat Segenap itu. Pasalnya, hingga kini sejumlah tempat hiburan malam masih  dijadikan sebagai tempat mangkal para wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) atau biasa disebut kupu-kupu malam.

Meski berlangsung secara sembunyi-sembunyi, sejumlah kafe misalnya, dijadikan sebagai tempat transaksi seks. Menurut hasil investigasi Kontras, hingga kini jumlah PSK di Kutacane dan sekitarnya capai seratusan orang. Ibarat anggota paguyuban, mereka berasal dari sejumlah daerah, seolah mewakili konstituen seperti halnya anggota dewan. Mereka berasal dari berbagai pelosok Aceh dan Sumatera Utara. Tidak mengherankan kalau ada yang menyebut mereka mewakili  konstituen seks nya.

Begitupun, penyebutan mereka yang mewakili konstituen seks ternyata juga tak terlalu tepat, sebab ada juga yang berasal dari luar daerah. Ada juga pemain luar, mungkin lebih layak disebut lintas negara. Buktinya, beberapa bulan lalu sempat ditangkap seorang PSK yang berasal dari luar negeri, Pakistan. Sebelumnya PSK ini mengaku beroperasi di Medan, Sumatera Utara. Entah apa sebabnya, perempuan tersebut tertarik masuk ke wilayah Aceh Tenggara. Apakah ia tertarik dengan “goyangan” lokok pulo, saman dan sebagainya, atau sebaliknya orang lelaki dari Agara yang sengaja memesan wanita ini karena ingin mencicipi goyangan dari negeri Asia Selatan ini? Hanya merekalah yang tahu. Yang pasti, perempuan tersebut sempat terjaring razia.

Menurut pendataan pejabat di Aceh Tenggara, sebagian lagi PSK ini  berasal dari beberapa kabupaten di Aceh, yakni Aceh Utara, Aceh Timur, juga Lhokseumawe. Bekerja sebagai penjaja seks, motif dan latar belakang mereka pun beragam.

Sebenarnya aparat keamanan setempat seperti Satpol PP sudah beberapa kali melangsungkan razia. Namun, tidak membawa hasil yang maksimal. PSK-nya tertangkap, namun tak jelas kelanjutan pembinaan terhadap perempuan malam itu.

Selain lokasi hiburan malam, sejumlah lokasi lain seperti perhotelan sering dijadikan sebagai tempat menginap dan melakukan hubungan intim yang dilakukan pasangan tak sah ini. Sebenarnya penyakit sosial ini bukanlah hal yang baru. Memang, aparat kepolisian Polres Agara, Satpol-PP sudah sering melakukan razia terhadap keberadaan para PSK di daerah Bumi Sepakat Segenap itu. Sudah banyak pula yang berhasil mereka tangkap. PSK diberi pembinaan oleh Dinas Syariat Islam Agara. Namun, pembinaannya hanya sekadar saja. Buktinya, hingga kini jumlah mereka tidak pernah menurun. Selalu saja  ada yang menawarkan mahkotanya bagi lelaki hidung belang dengan harapan mendapat bayaran sesuai dengan kesepakatan.

Ironisnya, para PSK itu bukan saja berasal dari produk lokal tapi bahkan impor  dari Medan, Provinsi Riau, bahkan luar negeri. Para PSK itu, sepertinya kurang perhatian khusus dari Pemerintah. Jika mereka punya penghasilan dari membuat aneka kue, misalnya, mungkin saja mereka tak menjajakan  tubuh  kepada para lelaki.

Seorang pemerhati sosial di Agara menilai, perhatian pemerintah memang sangat penting, terutama pembinaan dari segi ideologi. Godaan tentu cukup kuat, apalagi modal yang mereka dapat dari pemakai sepuluh kali lipat dari apa yang sanggup diberikan pemerintah. Ini harus menjadi pertimbangan bahwa penegakan hukum seperti tindakan preventif saja ternyata tak cukup.

“Sepertinya perlu peningkatan pembinaan terhadap mereka,” kata seorang pemerhati sosial setempat. Sejumlah PSK yang tertangkap, kini tertangkap lagi dalam razia-razia yang digelar aparat. Residivis PSK ini pun bagai tak pernah jera dan tak takut akan risiko yang mereka hadapi. Padahal, PSK ini bekerja dengan risiko tinggi. Gonta-ganti pasangan dapat menyebabkan mereka punya kemungkinan besar terjangkit penyakit yang mematikan seperti HIV/AIDS.

Seperti di kawasan lain di Aceh, alasan mereka melakukan hal ini adalah karena faktor ekonomi, broken home, perceraian, perkawinan usia muda, dan karena tak punya keterampilan. Dalam kondisi demikian mereka mengaku sulit mencari nafkah untuk keluarga mereka. Pekerjaan ini mungkin dianggap tak perlu skill khusus.

Para Wanita Tuna Susila (WTS) itu menjajakan dirinya dengan tarif yang berbeda-beda, tergantung pasarannya. Tarif untuk short time (sekali nembak) Rp 70.000 - Rp 300.000. Ada pula yang mencapai Rp 300.000 - Rp 1 juta. Tergantung kepada status yang bersangkutan.  Jika PSK masih berstatus mahasiswi, tarifnya bisa mencapai Rp 1 juta. Ini tergolong tinggi dibanding PSK yang berumur lebih tua dan mangkal di pinggir jalan dan tempat tertentu.  Untuk dapat yang perawan pun, kata seorang germo, dirinya siap memasok. Tarifnya Rp 4 juta dalam semalam.

PSK dari kalangan mahasiswi atau pelajar biasanya dibooking melalui perantaranya (germo) selanjutnya dibawa ke suatu tempat dimana sang calon pemakai sudah menanti.

Berdasarkan investigasi Kontras, seorang PSK berusia 18 tahun yang enggan disebut namanya mengaku, dirinya terjerumus ke dunia PSK setelah ia bercerai dengan suaminya. Lalu, dia bersama temannya bercinta dengan orang lain. Saat itu mereka melakukan hubungan intim seperti seorang suami istri yang sah di sebuah villa di Ketambe. Usai melakukan hubungan terlarang itu, prianya pergi meninggalkan mereka dengan alasan akan kembali lagi. Ternyata dia  dibohongi, sang pria merupakan “orang kuat” karena bekerja  di instansi pemerintahan, akhirnya mereka tak bisa berbuat banyak walau pria itu tak juga menjemput mereka.

Selanjutnya biaya penginapan dan makan terpaksa mereka membayar sendiri. Tentu butuh uang banyak untuk itu, sementara kondisi mereka saat itu pas-pasan. “Ada masalah, otak diputar,” kata sang perempuan, mencari cara agar keluar dari kemelut itu. Akhirnya terpaksa dia mencari uang dengan menjaja dirinya. Kadung tanggung, ibarat bermain togel, sekali tak dapat untung tak apalah dicoba lagi. Sekali dapat untung plus enak, akhirnya kegiatan ini dilakukannya berulang-ulang.

Selain itu, diakuinya, mereka terjerumus ke dunia hitam itu karena tak ada yang peduli dengan dirinya. Andaikan saja ada yang mau peduli padanya, kata seorang PSK, mungkin dirinya tak seperti ini. Kendati menjadi seorang wanita penghibur, sejumlah PSK mengaku punya harga diri dan tak sembarangan menerima tamu laki-laki yang ingin  menidurinya.

Sementara itu, Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Tenggara, Bukhari Achmad, mengatakan, saat ini sebanyak 33 PSK atau Wanita Tuna Susila (WTS) telah diberi pembinaan. Khususnya warga asli daerah Agara akan diberi bantuan modal usaha sebesar Rp 1 juta per orang. Tahun 2011, katanya, mereka sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah agar mengalokasikan dana untuk pembinaan para PSK di daerah itu.

Dia berharap, pembinaan itu nanti berorientasi kepada pembinaan keimanan. Para PSK yang sebagian merupakan para janda umumnya minim pemahaman Agama. “Selama ini, sering ada penangkapan, wanitanya ditahan, sedangkan lelakinya dilepaskan. Ini tidak adil bagi mereka. Ini juga harus dibenahi,” katanya. (asnawi).

--
Tabloid KONTRAS  Nomor : 569 | Tahun XII  25 November  - 1 Desember  2010

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara