Tras Khusus "Bisnis Seks Booming di Aceh"

LIMA kota/kabupaten di Aceh menjadi ‘lumbung’ Pekerja Seks Komersial (PSK). Tamiang, Lhokseumawe, Banda Aceh, Aceh Barat, dan Aceh Besar, menjadi ‘lumbung’ penjaja tubuh itu.

Penyakit sosial yang timbul di daerah bersyariat Islam ini semakin kurang diperhatikan Pemerintah Aceh, menurut Direktur Yayasan Daulat Rejama (YDR), Rizal Syahputra, sepekan lalu, Kamis (2/12) di Banda Aceh, menjadi penyebab  mengapa jumlah PSK di Aceh semakin tinggi, dan katanya lagi, 18 kabupaten/kota di Aceh merupakan daerah asal dari PSK di Aceh.

Rizal menyebutkan, 18 kabupaten/kota di Aceh yang merupakan daerah asal Wanita Pekerja Seks (WPS) di Aceh yaitu, Labuhan Haji, Lhokseumawe, Langsa, Sabang, Banda Aceh, Aceh Jaya, Nagan Raya, Aceh Tamiang, Aceh Barat Daya, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Selatan, Aceh Singkil, dan Simeulue.

Dari 18 kabupaten/kota di Aceh itu, lima kabupaten/kota di Aceh merupakan ‘lumbung’ PSK. Rekapitulasi persentasi yang dikeluarkan YDR pada 2010, Aceh Tamiang masih menduduki posisi pertama sebagai ‘lumbung’ PSK dengan persentasi 22 persen. Disusul Lhokseumawe dan Banda Aceh masing-masing 18 persen. Sedangkan Aceh Barat 12 persen dan Aceh besar 9 persen.

“Ini fakta dan pemerintah jangan terus menutup mata. Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, 18 kabupaten/kota yang saya sebutkan tadi merupakan daerah asal PSK, jumlahnya kini telah mencapai 250 orang. Jika Pemerintah Aceh terus menutup mata dengan persoalan sosial ini, angka itu akan terus meningkat,” ucap Rizal kepada Kontras.

Permasalahan sosial yang muncul saat ini di Aceh, sebut Rizal bagai gunung es. Faktanya Pekerja Seks Komersial jumlahnya di Aceh terus meningkat. Dari ratusan lebih kini menjadi 250 PSK yang tersebar hampir diseluruh daerah di Aceh. “Sekitar 65 persen PSK itu didatangkan dari Aceh dan sisanya diimpor dari luar Aceh,” katanya.

“Maka itu pemerintah Aceh jangan tutup mata dengan persoalan sosial yang timbul di masyarakat. Malah informasi yang saya terima kini PSK di Aceh semakin berani, bersama para germonya telah membentuk sebuah wadah organisasi khusus bagi PSK seperti di Jakarta. Tujuannya tak lain mereka ingin dilegalitaskan,” kata Rizal, Kamis (2/12).

Bisnis haram ini terus diminati di daerah yang notabanenya ber-Syariat Islam oleh para mucikari dan PSK-nya, salah satu sebabnya karena tingginya bayaran jasa haram ini. Sebut Rizal, sekali melayani pelanggannya, PSK di Aceh dibayar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Bahkan tidak sedikit dari mereka dijadikan simpanan pria berduit yang suka jajan.

“Selalu menjadi alasan mereka adalah skill yang rendah, kebutuhan ekonomi mendesak, butuh pekerjaan cepat menghasilkan uang, dan pilihannya adalah menjadi PSK. Infrastruktur bukan tidak penting, namun program sosial juga hendaknya mendapat porsi yang seimbang atau selangkah di bawahnya, sehingga program kreatif yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat juga bisa mendapat perhatian khusus dari Pemerintah Aceh,” katanya.

YDR dalam hal ini, kata anak dari pelopor berdirinya YDR di Aceh, Radjiah, sangat prihatin melihat kondisi tersebut, karena perlu diketahui dan disadari sepenuhnya,  tidak ada seorangpun dari PSK yang dimintai keterangan  bercita-cita sebagai pekerja seks, tapi pada kenyataannya potensi itu ada dan keberadaannya menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan kini.

“PSK merupakan entry point dalam hal penyebaran penularan HIV/AIDS selain pengguna Narkotika melalui jarum Suntik (IDU). Peningkatan kasus pengidap HIV/AIDS tiap tahunnya di Aceh kini sudah mencapai 61 orang (data KPA Aceh) menunjukkan jumlah yang sangat memprihatinkan,” pungkas Rizal kepada Kontras.

Penyakit Sosial
Penyakit sosial yang terjadi dan kurang diperhatikan Pemerintah Aceh itu, kata Rizalm bisa menjadi rantai setan yang tak bisa diputuskan pada akhirnya jika terus dibiarkan tanpa pembinaan berkelanjutan pada PSK yang jumlahnya sudah ratusan orang tersebut.

“Maka itu kita memberi pembinaan, pemahaman, dan informasi tentang bahaya HIV dan lewat wadah kita ini, mereka (para PSK binaan YDR) bersedia, dan di sini lah melalui fungsi dan perannya YDR untuk menyampaikan aspirasi para PSK yang ada di Aceh yang jumlahnya sudah mencapai ratusan orang lebih itu,” ucapnya lagi.

Menurut Rizal lagi, Pemerintah Aceh terlihat belum siap mengalihkan pekerjaan haram PSK.  “Di satu sisi mereka tidak memiliki pengetahuan dan skill, inilah pemberdayaan yang YDR lakukan, spikologinya, religinya juga, supaya mereka terbuka, sentuhan-sentuhan itu yang diperlukan mereka untuk mengembalikan mereka kembali ke kehidupan yang lebih baik dan normal dengan skill yang ada,” sebut Rizal.

Pemakai jasa PSK
Pemakaian jasa PSK di Aceh dari hasil survey dan keterangan PKS binaan YDR yang berjumlah 100 orang itu, umumnya adalah pejabat, oknum keamanan, dan ABG. Menurutnya untuk memutuskan mata rantai bisnis haram ini berkembang di Aceh,  PSK itu harus dibina dan penegakan Syariat Islam harus ditegakkan secara kaffah.

“Kenapa PSK hadir karena ada pemakai. Jika ini kita paparkan, Pemerintah Aceh seperti elergi dengan persoalan PSK. Kalau PSK terus dibiarkan HIV/AIDS akan menjadi rawan di tengah masyarakat. Pemerintah Aceh harus lebih bijaksana untuk persoalan sosial ini,” kata Rizal.

Jelas Rizal, PSK di Aceh berusia 17-40 tahun. Mereka ini umumnya tamatan SMP atau SMA. Namun tidak sedikit yang menyandang status mahasiswa. Pekerjaan haram ini dilakukan dengan berbagai alasan yang berujung pada keadaan sosial yang terjadi di tengah masyarakat, faktor ekonomi, sempitnya lahan pekerjaan, tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya.

“PSK tidak saja rentan terkena HIV/AIDS tapi mereka juga tidak sedikit yang terlibat Narkoba. Kini yang sedang tren, PSK mengonsumsi sabu-sabu sebelum melakukan hubungan seks dengan para tamunya. Benda haram tersebut bisa mereka dapat dari tamu dan juga didapatkannya dari bandar narkoba,” beber Rizal kepada Kontras. (c47)

--
Tabloid KONTRAS  Nomor : 571 | Tahun XII  9 - 15 Desember  2010

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara