Bayang-Bayang Sensasi Popularitas Pemimpin
TIDAK bisa dipungkiri bahwa pemimpin membutuhkan sensasi untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat umum. Apapun bisa dilakukan demi tercapainya tujuan, bukan untuk yang lain, untuk kepentingan diri sendiri biasanya. Mau itu dengan cara menipu ataupun menjebak, lain ceritanya. Yang pasti yang namanya popularitas itu memang penting.
Saya banyak membaca tulisan tentang bagaimana pemimpin ideal di mata masyarakat Aceh termasuk soal popularitas pemimpin. Kebetulan, saya sering menulis status tentang hal ini di twitter pribadi saya. Di antaranya, “Saya lebih baik berucap dan menulis sedikit kata tentang kebenaran daripada menjadi kaya dan popular hanya untuk menghentikan peradaban.”
Banyak sekali kata terurai dalam ucapan dan tulisan dalam satu hari namun hanya sedikit saja yang memiliki arti. Kata yang terurai itu hanyalah sekedar kata tanpa ada makna dan arti, sehingga apa yang tertulis dan diucapkan itu tidak membuat saya tertarik lagi.
Di sisi lain, kata memang bisa berdusta tetapi kata tidak bisa berbohong. Seorang pemimpin seharusnya tahu bahwa setiap kata adalah benar dan masyarakat pun seharusnya tahu bahwa setiap kata memiliki tujuannya masing-masing. Sehingga, dengan demikian seorang pemimpin sejati tidak menjadikan popularitas sebagai sarana ataupun tujuan namun apa yang telah diperbuatnya itulah yang menjadikannya seorang pemimpin menjadi popular. Bukan karena janji-janji ataupun harapan palsu tetapi atas perbuatan dan tindakan yang nyata.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Henry Kinsinger, seorang negarawan yang hebat asal Amerika Serikat dan berperan penting dalam dunia diplomasi, “Leaders are responsible not for running public opinion polls but for the consequences of their actions.” – Pemimpin tidak bertanggungjawab untuk melakukan opini publik tetapi untuk resiko-resiko atas semua tindakannya.
Salah satu contohnya adalah soal pengumpulan dana bantuan dengan mengatasnamakan kemanusiaan. Berbondong-bondong orang berdiri di pinggir jalan dan menjual duka serta air mata untuk mendapatkan iba. Meski kemudian uang itu untuk disumbangkan kembali, tetapi siapakah kemudian yang berdiri paling depan saat penyerahan uang sumbangan itu? Mereka yang menyumbang, mereka yang bersusah payah berdiri di pinggir jalan, ataukah para pemimpinnya?! Benarkah bermoral dan beretika?! Lagipula, mengajarkan orang untuk mengemis bukanlah sesuatu yang baik. Kenapa tidak mendidik semua untuk mandiri dan memberikan lebih banyak manfaat bagi semua? “Han ek kupikee!!!” Begitukah?!
Mungkin karena memang mengemis sudah menjadi budaya. Pengemis di pinggir jalan berpakaian kumal meminta uang di pinggir jalan. Banyak lagi pengemis berpakaian perlente datang ke satu tempat mewah ke tempat mewah lainnya dengan membawa setumpuk proposal. Pemimpin pun sama saja. Mengemis sana sini di pusat pemerintahan dan di kalangan tertentu untuk mendapatkan popularitas meski dengan cara yang berbeda. Apa bedanya?
Pemimpin sejati seharusnya bisa membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik bukan memberikan masalah ataupun menambah masalah. Adalah sebuah kegagalan seorang pemimpin bila tidak membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik. Pakaian dan mobil mewah yang dikenakan seorang pemimpin meski sangat popular tidak berarti bila tingkat kriminal masih sangat tinggi dan tingkat kesejahteraan rakyat sangat rendah. Biarpun banyak gedung mewah dan perumahan di bangun namun bila masih banyak masyarakatnya yang tidak mampu bahkan untuk membeli sekerat daging, apalah artinya?! Berobat gratis pun hanya sekedar kata bukan?! Apakah pemimpin yang telah gagal itu harus dipilih kembali?!
Pada dasarnya,tidak ada seorang pemimpin pun yang bisa berdiri pada kakinya sendiri untuk mendapatkan posisinya. Seperti kata Henry Kissinger, “A leader does not deserve the name unless he is willing occasionally to stand alone.“ - Seorang pemimpin tidak pantas mendapatkan nama kecuali bila dia memang terkadang berkeinginan berdiri sendiri.
Jika kemudian semua yang membantunya itu dilupakan begitu saja, maka popularitasnya hanyalah sebuah bayang-bayang belaka yang dijadikan sebuah sensasi hanya untuk mendapatkan posisi. Selebihnya, semua hanya untuk diri sendiri saja bukan untuk yang lain ataupun untuk semua.
Seperti yang pernah diucapkan oleh Nikita Kruschev, seorang negarawan sekaligus diplomat hebat asal Rusia, “Politicians are the same all over. They promise to build bridges even when there are no rivers.” – Politisi di mana-mana sama. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan bila tidak ada sungai sekalipun.
Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah membatasi masyarakatnya untuk bisa menjadi lebih hebat dan lebih popular dari dirinya sendiri. Dia tidak perlu takut karena tahu dan sadar benar bahwa bila dia menghentikan masyarakatnya untuk berkembang maka sama saja dia telah melakukan sebuah bunuh diri. Menjadi petunjuk bahwa dia adalah seorang pemimpin yang telah stagnan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri selain dengan cara mematikan yang lainnya dan menggunakan popularitasnya kembali sebagai sarana untuk menggapai tujuan dirinya semata.
Leo Tolstoy, seorang filsuf dan penulis dunia pernah berkata, “Greatness is nothing without its simplicity.” – Kehebatan tidaklah berarti tanpa kesederhanaan. Biarpun hebat secara popularitas tetapi tidak memiliki kesederhanaan di dalam bersikap, maka seorang pemimpin bukanlah seorang pemimpin sejati. Hanya memikirkan hal-hal yang besar dan hebat namun lupa pada hal-hal yang dianggapnya kecil dan remeh seperti masyarakatnya sendiri yang mungkin dianggapnya tidak pernah ada kecuali menjelang pemilihan umum.
Pemimpin yang demikian sebenarnya bukanlah seorang pemimpin yang memiliki nyali dan keberanian untuk mengambil resiko yang besar di dalam mengembangkan masyarakatnya hanya karena takut tidak dimengerti dan dipahami dan tidak menjadi popular lagi tentunya. Sehingga langkah-langkah yang diambilnya pun berhenti pada ide-ide lama yang pernah dilakukan sebelumnya. Menjadi tidak kreatif dan tidak memiliki visi jangka panjang. Yang ada hanyalah misi untuk pencapaian tujuan sesaat. Padahal kreatifitas dan ide adalah sangat penting bagi seorang pemimpin sejati. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa memimpin bila tidak bisa berpikir maju tiga langkah ke depan?! Mau ke mana masyarakat yang dipimpinnya ini dibawa?!
Yah, memang sulit sekali untuk menghentikan semua ini meski sudah banyak yang berteriak. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, semua ini terjadi karena masyarakatnya sendiri tidak juga mau mengerti dan paham bahwa setiap kata memiliki tujuannya masing-masing. Hingga kemudian menjadi terus saja dibodohi, dibohongi, dan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan pemimpinnya sendiri. Bahkan tak sedikit juga segelintir masyarakat yang mengaku seorang intelektual, pejuang kebenaran, memiliki integritas, dedikasi, dan harga diri yang tega meneruskan kebodohan, kebohongan, dan manipulasi kepada yang lainnya demi kepentingan dirinya sendiri. Hingga kapan semua ini terus berlanjut?!
Saya sangat setuju dengan apa yang diucapkan oleh seorang Julius Caesar, “I love honor rather than I fear of death.” – Saya lebih cinta kehormatan daripada ketakutan atas kematian. Lebih baik mati terhormat daripada harus menjadi seorang pecundang.
Bagi saya, Aceh adalah sebuah tempat di mana banyak sekali keindahannya termasuk kata-kata yang dimilikinya. Dahulu banyak sekali untaian kata indah penuh arti dan makna terurai dalam ucapan dan tulisan yang merupakan karya besar orang Aceh. Salah satu prestasi yang menjadikan Aceh tersohor dan terkenal. Jelas sekali menunjukkan bagaimana pola pikir dan cara pandang masyarakat Aceh yang sebenarnya dan memperlihatkan juga bagaimana kondisi piskologis masyarakat Aceh pada masanya itu.
Sungguh sangat disayangkan bila semua itu harus berakhir. Pada masa di mana kata sudah tidak lagi memiliki arti dan makna yang sesungguhnya maka pada saat pulalah peradaban manusia berakhir. Manusia tidak lagi berevolusi untuk menjadi manusia yang memiliki kemampuan berpikir lebih modern dengan kemampuannya melihat jauh ke depan. Kembali lagi kepada kreatifitas dan ide pemimpin yang stagnan itu lagi, semuanya tidak ada yang berkembang selain berhenti dan terus mundur ke belakang. Semuanya terkurung di dalam bayang-bayang sensasi popularitas seorang pemimpin semata. Relakah?! Semoga saja tidak pernah sampai harus terjadi.
Sekali lagi juga saya ingat pepatah lama Aceh, “Matee aneuk na jeurat, matee adat pat tamita”. Seandainya seseorang tidak lagi mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berarti seseorang atau anggota masyarakat tersebut tindak tanduknya telah menjurus kepada pembasmian adat istiadat yang berlaku itu sendiri. Bila hal itu terjadi, bagaimanakah kemudian mengembalikan adat istiadat tersebut pada tempatnya semula.
Oleh karena itulah, “Tajak beutroh takalon beudeuh, beek rugo meuh saket hate”. Apapun yang kita dengarkan, kerjakan atau lakukan, haruslah kita periksa atau pikir-pikir terlebih dahulu, jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari [] Mariska Lubis | Pengamat Sosial dan Politik, berdomisili di Jakarta.
Saya banyak membaca tulisan tentang bagaimana pemimpin ideal di mata masyarakat Aceh termasuk soal popularitas pemimpin. Kebetulan, saya sering menulis status tentang hal ini di twitter pribadi saya. Di antaranya, “Saya lebih baik berucap dan menulis sedikit kata tentang kebenaran daripada menjadi kaya dan popular hanya untuk menghentikan peradaban.”
Banyak sekali kata terurai dalam ucapan dan tulisan dalam satu hari namun hanya sedikit saja yang memiliki arti. Kata yang terurai itu hanyalah sekedar kata tanpa ada makna dan arti, sehingga apa yang tertulis dan diucapkan itu tidak membuat saya tertarik lagi.
Di sisi lain, kata memang bisa berdusta tetapi kata tidak bisa berbohong. Seorang pemimpin seharusnya tahu bahwa setiap kata adalah benar dan masyarakat pun seharusnya tahu bahwa setiap kata memiliki tujuannya masing-masing. Sehingga, dengan demikian seorang pemimpin sejati tidak menjadikan popularitas sebagai sarana ataupun tujuan namun apa yang telah diperbuatnya itulah yang menjadikannya seorang pemimpin menjadi popular. Bukan karena janji-janji ataupun harapan palsu tetapi atas perbuatan dan tindakan yang nyata.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Henry Kinsinger, seorang negarawan yang hebat asal Amerika Serikat dan berperan penting dalam dunia diplomasi, “Leaders are responsible not for running public opinion polls but for the consequences of their actions.” – Pemimpin tidak bertanggungjawab untuk melakukan opini publik tetapi untuk resiko-resiko atas semua tindakannya.
Salah satu contohnya adalah soal pengumpulan dana bantuan dengan mengatasnamakan kemanusiaan. Berbondong-bondong orang berdiri di pinggir jalan dan menjual duka serta air mata untuk mendapatkan iba. Meski kemudian uang itu untuk disumbangkan kembali, tetapi siapakah kemudian yang berdiri paling depan saat penyerahan uang sumbangan itu? Mereka yang menyumbang, mereka yang bersusah payah berdiri di pinggir jalan, ataukah para pemimpinnya?! Benarkah bermoral dan beretika?! Lagipula, mengajarkan orang untuk mengemis bukanlah sesuatu yang baik. Kenapa tidak mendidik semua untuk mandiri dan memberikan lebih banyak manfaat bagi semua? “Han ek kupikee!!!” Begitukah?!
Mungkin karena memang mengemis sudah menjadi budaya. Pengemis di pinggir jalan berpakaian kumal meminta uang di pinggir jalan. Banyak lagi pengemis berpakaian perlente datang ke satu tempat mewah ke tempat mewah lainnya dengan membawa setumpuk proposal. Pemimpin pun sama saja. Mengemis sana sini di pusat pemerintahan dan di kalangan tertentu untuk mendapatkan popularitas meski dengan cara yang berbeda. Apa bedanya?
Pemimpin sejati seharusnya bisa membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik bukan memberikan masalah ataupun menambah masalah. Adalah sebuah kegagalan seorang pemimpin bila tidak membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik. Pakaian dan mobil mewah yang dikenakan seorang pemimpin meski sangat popular tidak berarti bila tingkat kriminal masih sangat tinggi dan tingkat kesejahteraan rakyat sangat rendah. Biarpun banyak gedung mewah dan perumahan di bangun namun bila masih banyak masyarakatnya yang tidak mampu bahkan untuk membeli sekerat daging, apalah artinya?! Berobat gratis pun hanya sekedar kata bukan?! Apakah pemimpin yang telah gagal itu harus dipilih kembali?!
Pada dasarnya,tidak ada seorang pemimpin pun yang bisa berdiri pada kakinya sendiri untuk mendapatkan posisinya. Seperti kata Henry Kissinger, “A leader does not deserve the name unless he is willing occasionally to stand alone.“ - Seorang pemimpin tidak pantas mendapatkan nama kecuali bila dia memang terkadang berkeinginan berdiri sendiri.
Jika kemudian semua yang membantunya itu dilupakan begitu saja, maka popularitasnya hanyalah sebuah bayang-bayang belaka yang dijadikan sebuah sensasi hanya untuk mendapatkan posisi. Selebihnya, semua hanya untuk diri sendiri saja bukan untuk yang lain ataupun untuk semua.
Seperti yang pernah diucapkan oleh Nikita Kruschev, seorang negarawan sekaligus diplomat hebat asal Rusia, “Politicians are the same all over. They promise to build bridges even when there are no rivers.” – Politisi di mana-mana sama. Mereka berjanji membangun jembatan bahkan bila tidak ada sungai sekalipun.
Seorang pemimpin sejati tidak akan pernah membatasi masyarakatnya untuk bisa menjadi lebih hebat dan lebih popular dari dirinya sendiri. Dia tidak perlu takut karena tahu dan sadar benar bahwa bila dia menghentikan masyarakatnya untuk berkembang maka sama saja dia telah melakukan sebuah bunuh diri. Menjadi petunjuk bahwa dia adalah seorang pemimpin yang telah stagnan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri selain dengan cara mematikan yang lainnya dan menggunakan popularitasnya kembali sebagai sarana untuk menggapai tujuan dirinya semata.
Leo Tolstoy, seorang filsuf dan penulis dunia pernah berkata, “Greatness is nothing without its simplicity.” – Kehebatan tidaklah berarti tanpa kesederhanaan. Biarpun hebat secara popularitas tetapi tidak memiliki kesederhanaan di dalam bersikap, maka seorang pemimpin bukanlah seorang pemimpin sejati. Hanya memikirkan hal-hal yang besar dan hebat namun lupa pada hal-hal yang dianggapnya kecil dan remeh seperti masyarakatnya sendiri yang mungkin dianggapnya tidak pernah ada kecuali menjelang pemilihan umum.
Pemimpin yang demikian sebenarnya bukanlah seorang pemimpin yang memiliki nyali dan keberanian untuk mengambil resiko yang besar di dalam mengembangkan masyarakatnya hanya karena takut tidak dimengerti dan dipahami dan tidak menjadi popular lagi tentunya. Sehingga langkah-langkah yang diambilnya pun berhenti pada ide-ide lama yang pernah dilakukan sebelumnya. Menjadi tidak kreatif dan tidak memiliki visi jangka panjang. Yang ada hanyalah misi untuk pencapaian tujuan sesaat. Padahal kreatifitas dan ide adalah sangat penting bagi seorang pemimpin sejati. Bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa memimpin bila tidak bisa berpikir maju tiga langkah ke depan?! Mau ke mana masyarakat yang dipimpinnya ini dibawa?!
Yah, memang sulit sekali untuk menghentikan semua ini meski sudah banyak yang berteriak. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, semua ini terjadi karena masyarakatnya sendiri tidak juga mau mengerti dan paham bahwa setiap kata memiliki tujuannya masing-masing. Hingga kemudian menjadi terus saja dibodohi, dibohongi, dan dimanipulasi oleh berbagai kepentingan pemimpinnya sendiri. Bahkan tak sedikit juga segelintir masyarakat yang mengaku seorang intelektual, pejuang kebenaran, memiliki integritas, dedikasi, dan harga diri yang tega meneruskan kebodohan, kebohongan, dan manipulasi kepada yang lainnya demi kepentingan dirinya sendiri. Hingga kapan semua ini terus berlanjut?!
Saya sangat setuju dengan apa yang diucapkan oleh seorang Julius Caesar, “I love honor rather than I fear of death.” – Saya lebih cinta kehormatan daripada ketakutan atas kematian. Lebih baik mati terhormat daripada harus menjadi seorang pecundang.
Bagi saya, Aceh adalah sebuah tempat di mana banyak sekali keindahannya termasuk kata-kata yang dimilikinya. Dahulu banyak sekali untaian kata indah penuh arti dan makna terurai dalam ucapan dan tulisan yang merupakan karya besar orang Aceh. Salah satu prestasi yang menjadikan Aceh tersohor dan terkenal. Jelas sekali menunjukkan bagaimana pola pikir dan cara pandang masyarakat Aceh yang sebenarnya dan memperlihatkan juga bagaimana kondisi piskologis masyarakat Aceh pada masanya itu.
Sungguh sangat disayangkan bila semua itu harus berakhir. Pada masa di mana kata sudah tidak lagi memiliki arti dan makna yang sesungguhnya maka pada saat pulalah peradaban manusia berakhir. Manusia tidak lagi berevolusi untuk menjadi manusia yang memiliki kemampuan berpikir lebih modern dengan kemampuannya melihat jauh ke depan. Kembali lagi kepada kreatifitas dan ide pemimpin yang stagnan itu lagi, semuanya tidak ada yang berkembang selain berhenti dan terus mundur ke belakang. Semuanya terkurung di dalam bayang-bayang sensasi popularitas seorang pemimpin semata. Relakah?! Semoga saja tidak pernah sampai harus terjadi.
Sekali lagi juga saya ingat pepatah lama Aceh, “Matee aneuk na jeurat, matee adat pat tamita”. Seandainya seseorang tidak lagi mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berarti seseorang atau anggota masyarakat tersebut tindak tanduknya telah menjurus kepada pembasmian adat istiadat yang berlaku itu sendiri. Bila hal itu terjadi, bagaimanakah kemudian mengembalikan adat istiadat tersebut pada tempatnya semula.
Oleh karena itulah, “Tajak beutroh takalon beudeuh, beek rugo meuh saket hate”. Apapun yang kita dengarkan, kerjakan atau lakukan, haruslah kita periksa atau pikir-pikir terlebih dahulu, jangan sampai ada penyesalan di kemudian hari [] Mariska Lubis | Pengamat Sosial dan Politik, berdomisili di Jakarta.
Comments
Post a Comment