Masyarakat tak Sabar Menunggu Jalan Tembus
Wali Kota Subulusaalam, Merah Sakti SH bersama masyarakatnya sangat mengharapkan perhatian serius dari pemerintah pusat dan Pemerintah Aceh untuk segera merealisir pembangunan ruas jalan tembus Gelombang (Subulussalam)-Meras Tulan (Aceh Tenggara) sepanjang 50 kilometer. Sebab, dengan dibangunnya jalan tersebut, kelak dapat memperpendek jarak tempuh, sekaligus membuka isolasi bagi masyarakat Agara untuk memiliki akses langsung via darat ke daerah lainnya di Aceh.
Masyarakat Agara yang berada di Daratan Tinggi Alas terkesan sangat terisolir dari daerah Aceh lainnya. Kini, bila ingin ke Subulussalam atau Aceh Singkil harus melewati tiga kabupaten lainnya di Sumatera Utara, yaitu Tanah Karo, Dairi, dan Phak-Phak Barat, dengan lama perjalanan mencapai sepuluh jam lebih. Jarak tempuhnya hampir 350 kilometer. Belum lagi kondisi jalan di daerah perbatasan antara Agara dengan Sumut dan Subulussaalam-Sumut yang cukup parah kerusakannya. Ditambah lagi ancaman longsor pada musim hujan.
Sebagai pendukung pembangunan jalan tembus Gelombang-Meras Tulan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)-nya sudah dilakukan pembahasan tahun 2009 dengan melibatkan Dinas BMCK Aceh, Bapedalda, Pemko Subulussalam, Pemkab Aceh Tenggara, dan sejumlah pihak lainnya. Jadi, tidak ada persoalan lagi.
Meski demikian, kita yakin, jika nantinya pemerintah membangun jalan itu, maka pasti akan ada pihak yang akan menyeret persoalan jalan dimaksud ke dalam konflik pengelolaan hutan Aceh, terutama bila itu masuk dalam kawasan ekosistim Leuser. Sebab, sejak lama sudah kita ketahui bahwa pembangunan jalan laba-laba yang kemudian disebut Ladia Galaska terus terjadi silang pendapat, meskipun jaringan jalan tembus itu dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat pedalaman Aceh.
Silang pendapat terjadi antara dua kepentingan. Yang satu ingin melestarikan sumber-sumber daya alam untuk kesejahteraan hidup dalam jangka panjang. Sedangkan yang satu lagi ingin membuka isolasi daerah mereka dengan membangun sarana jalan. Terhadap konflik kepentingan itu, seorang pemerhati pernah menuliskan dengan menyebut masing-masing program sebagai megaproyek. Yakni megaproyek pengembangan Kawasan Ekosistem Leuser dan jejaring jalan Ladia Galaska. Ketika disebut “proyek” kita tentu menjadi maklum kenapa pihak-pihak terus bersitegang.
Makanya, disarankan, agar masyarakat yang terisolir itu tak terus terbelenggu dalam kemiskinan --hanya karena ada pihak-pihak menjaga agar “priuk nasinya” tak terganggu-- perlu pemakluman. Sebab, sesungguhnya, masyarakat yang terus termarjinalkan hanya karena tak ada akses hubungan darat, sudah tak sabar menunggu pembangunan jalan-jalan tembus. Masyarakat Agara, misalnya, juga ingin makan ikan segar dari laut Singkil. Sebaliknya, masyarakat Singkil dan Subulussalam juga ingin mengonsumsi banyak hasil bumi Tanah Alas yang selama ini cuma dipasarkan ke Sumut.
Masyarakat Agara yang berada di Daratan Tinggi Alas terkesan sangat terisolir dari daerah Aceh lainnya. Kini, bila ingin ke Subulussalam atau Aceh Singkil harus melewati tiga kabupaten lainnya di Sumatera Utara, yaitu Tanah Karo, Dairi, dan Phak-Phak Barat, dengan lama perjalanan mencapai sepuluh jam lebih. Jarak tempuhnya hampir 350 kilometer. Belum lagi kondisi jalan di daerah perbatasan antara Agara dengan Sumut dan Subulussaalam-Sumut yang cukup parah kerusakannya. Ditambah lagi ancaman longsor pada musim hujan.
Sebagai pendukung pembangunan jalan tembus Gelombang-Meras Tulan, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)-nya sudah dilakukan pembahasan tahun 2009 dengan melibatkan Dinas BMCK Aceh, Bapedalda, Pemko Subulussalam, Pemkab Aceh Tenggara, dan sejumlah pihak lainnya. Jadi, tidak ada persoalan lagi.
Meski demikian, kita yakin, jika nantinya pemerintah membangun jalan itu, maka pasti akan ada pihak yang akan menyeret persoalan jalan dimaksud ke dalam konflik pengelolaan hutan Aceh, terutama bila itu masuk dalam kawasan ekosistim Leuser. Sebab, sejak lama sudah kita ketahui bahwa pembangunan jalan laba-laba yang kemudian disebut Ladia Galaska terus terjadi silang pendapat, meskipun jaringan jalan tembus itu dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat pedalaman Aceh.
Silang pendapat terjadi antara dua kepentingan. Yang satu ingin melestarikan sumber-sumber daya alam untuk kesejahteraan hidup dalam jangka panjang. Sedangkan yang satu lagi ingin membuka isolasi daerah mereka dengan membangun sarana jalan. Terhadap konflik kepentingan itu, seorang pemerhati pernah menuliskan dengan menyebut masing-masing program sebagai megaproyek. Yakni megaproyek pengembangan Kawasan Ekosistem Leuser dan jejaring jalan Ladia Galaska. Ketika disebut “proyek” kita tentu menjadi maklum kenapa pihak-pihak terus bersitegang.
Makanya, disarankan, agar masyarakat yang terisolir itu tak terus terbelenggu dalam kemiskinan --hanya karena ada pihak-pihak menjaga agar “priuk nasinya” tak terganggu-- perlu pemakluman. Sebab, sesungguhnya, masyarakat yang terus termarjinalkan hanya karena tak ada akses hubungan darat, sudah tak sabar menunggu pembangunan jalan-jalan tembus. Masyarakat Agara, misalnya, juga ingin makan ikan segar dari laut Singkil. Sebaliknya, masyarakat Singkil dan Subulussalam juga ingin mengonsumsi banyak hasil bumi Tanah Alas yang selama ini cuma dipasarkan ke Sumut.
Comments
Post a Comment