Tren Kas Bon di Aceh, Khusus untuk kasus di Aceh Tenggara, mencapai Rp 8,9 miliar.
KASUS kas bon di sejumlah kabupaten/kota di Aceh memang menjadi fenomena buruk pengelolaan keuangan negara di daerah. Awalnya, kasus kas bon mencuat di Kabupaten Bireuen, kemudian berturut-turut terjadi di Kabupaten Pidie, Aceh Timur, dan terakhir di Aceh Tenggara.
Menurut LSM, Masyarakat Transfaransi Aceh (MaTA) fenomena kas bon terjadi karena tidak adanya keberanian dari para penegak hukum untuk menindak pelaku kas bon itu sendiri. Dari sekian banyak kasus yang terjadi di kabupaten/kota, hanya mantan Bupati Bireuen, Mustafa Gelanggang, yang dijebloskan ke penjara karena kasus kas bon. Sedangkan kasus di kabupaten lainnya hingga kini belum tersentuh tangan-tangan para penegak hukum.
“Saya melihat, kepala daerah berani melakukan kas bon, karena penegakan hukum di kabupaten/kota sangat lemah. Sampai sekarang hanya Mustafa Geulanggang yang masuk penjara karena kas bon, lainnya belum. Ini yang membuat mereka berani melakukan kas bon,” sebut Koordinator MaTA, Alfian, yang sedang berada di Medan, Sumatera Utara, kepada Kontras, kemarin.
Dia menyebutkan, Kapolda Aceh, dan Kejati Aceh perlu memerintahkan secara tegas jajaran di bawahnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara serius terhadap kasus-kasus kas bon di Aceh. Dia menyebutkan, kas bon bisa terjadi karena bendahara umum daerah (BUD) tidak taat pada aturan pengelolaan keuangan negara. Selama ini, kas bon itu terjadi karena perintah bupati/wakil bupati.
Sebagai bawahan, posisi BUD menjadi dilematis. Jika tidak setuju, bisa saja risikonya kehilangan jabatan atersebut. Dituruti, bertentangan dengan aturan hukum, dan bisa dipastikan akan menjadi temuan badan pemeriksaan keuangan (BPK) ketika melakukan audit keuangan daerah. Ibarat buah simalakama. Itulah posisi BUD, jika bupati dan wakil bupatinya, tidak taat aturan yang berlaku. “Harusnya bupati dan wakil bupati itu taat hukum. Jadi, tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Ini penting,” ujarnya.
Uang yang disebut kas bon dikeluarkan tanpa adanya surat perintah membayar (SPM). Mekanisme pengeluaran uang seperti SPM, itu tidak ada. Uang itu bisa keluar, hanya atas perintah kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mereka menyiasati menutupinya melalui uang yang dialokasikan dalam APBK-Perubahan, atau APBK murni tahun berikutnya. Pola ini yang dimainkan para pelaku kas bon di Aceh.
Selain itu, sebut Alfian, saat ini, koalisi LSM anti korupsi di Aceh sedang membuat rencana strategi (Renstra) untuk memberangus upaya-upaya kas bon di Aceh.
“Rentra ini nantinya akan kita serahkan ke Kejati, dan Kapolda Aceh. Kita harap, kedua lembaga itu melakukan pencegahan dengan mengeluarkan pernyataan bahwa kas bon haram. Jadi harus ditindak,” tegas Alfian.
Khusus untuk kasus di Aceh Tenggara, MaTA melansir, kas bon di daerah itu mencapai Rp 8,9 miliar. MaTA mendesak pihak Kejati Aceh menurunkan tim untuk mengusut kasus tersebut. Hasil kajian dan analisis MaTA terhadap hasil audit (pemeriksaan) yang telah selesai dilaksakan pada 13 Agustus 2010 oleh BPK-RI atas Sistem Pengendalian Interen dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemkab Agara 2009, ditemukan beberapa permasalahan yang berpotensi menyimpang dalam pengelolaan keuangan daerah dan negara, atau berpeluang untuk disalahgunakan.
Menurut Alfian, satu temuan bermasalah yaitu masih adanya sisa kasbon yang belum dipertanggung-jawabkan, sehingga dari hasil audit BPK-RI tidak bisa menyimpulkan apa-apa atau disclaimer. “Sesuatu yang buruk telah terjadi terhadap tatakelola pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara, sehingga butuh perhatian yang cepat oleh penegak hukum,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh MaTA dari BPK-RI melaui Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD), terdapat selisih kas daerah antara saldo di Bank dengan Buku Kas Umum (BKU) Pemkab Aceh Tenggara. Tercatat dalam BKU, sisa Kas Daerah sebesar Rp 11.639.097.586,91 sedangkan saldo di rekening bank milik Pemkab Aceh Tenggara per 31 Desember 2009 adalah sebesar Rp 2.661.122.016,91.
Menurut MaTA, selisih tersebut diakibatkan oleh adanya kasbon Pemkab Aceh Tenggara sejak tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun anggaran 2009 sebesar Rp 8.978.182.276,00 yang belum diselesaikan sesuai dengan pengelolaan keuangan yang baik.
Alfian menyatakan, permasalahan terjadi karena BUD dalam melaksanakan pengeluaran kas melalui kas daerah tidak berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Selain itu Bupati Aceh Tenggara belum bersungguh-sungguh menghentikan terjadinya mekanisme kasbon di lingkungan Pemkab Agara. MaTA melihat ada unsur kesengajaan dilakukan oleh jajaran pemerintah sehingga terjadinya kasbon terus menerus.
Kas bon, ujar Alfian, merupakan pengeluaran uang pada kas daerah tanpa melalui Surat Perintah Membayar (SPM), namun hanya berdasarkan bukti kasbon yang disetujui oleh bupati, wakil bupati atau sekretaris daerah yang diberikan kepada beberapa satuan kerja dan pelaksana kegiatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Akibatnya pengelolaan keuangan menjadi tidak menentu dan berpotensi terjadinya kerugian negara.
Kondisi ini, tambah Alfian, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada pasal 1 ayat (50) PP tersebut dinyatakan, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM. Pasal 65 ayat (1) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran, dan ayat (2) yang menyatakan bahwa pembayaran seperti yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan SP2D oleh Kuasa BUD.
Aturan lain yang dilanggar, lanjut Alfian, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintahan dalam Pernyataan Nomor 03 Paragraf 8 yang menyebutkan definisi Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah.
Berdasarkan hal itu, MaTA mendesak Kajati Aceh menurunkan tim untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Hal ini penting dilakukan mengingat kasus kasbon di Agara sudah terjadi sejak Tahun 2007-2009 dan belum ada pengusutannya, sehingga berpotensi terulang kembali.
“Kita berharap seluruh jajaran pemerintah kabupaten/kota di Aceh dapat mentaati aturan yang berlaku dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak mencederai rasa keadilan masyarakat,” pungkas Alfian.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 570 | Tahun XII 2 - 8 Desember 2010
Menurut LSM, Masyarakat Transfaransi Aceh (MaTA) fenomena kas bon terjadi karena tidak adanya keberanian dari para penegak hukum untuk menindak pelaku kas bon itu sendiri. Dari sekian banyak kasus yang terjadi di kabupaten/kota, hanya mantan Bupati Bireuen, Mustafa Gelanggang, yang dijebloskan ke penjara karena kasus kas bon. Sedangkan kasus di kabupaten lainnya hingga kini belum tersentuh tangan-tangan para penegak hukum.
“Saya melihat, kepala daerah berani melakukan kas bon, karena penegakan hukum di kabupaten/kota sangat lemah. Sampai sekarang hanya Mustafa Geulanggang yang masuk penjara karena kas bon, lainnya belum. Ini yang membuat mereka berani melakukan kas bon,” sebut Koordinator MaTA, Alfian, yang sedang berada di Medan, Sumatera Utara, kepada Kontras, kemarin.
Dia menyebutkan, Kapolda Aceh, dan Kejati Aceh perlu memerintahkan secara tegas jajaran di bawahnya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara serius terhadap kasus-kasus kas bon di Aceh. Dia menyebutkan, kas bon bisa terjadi karena bendahara umum daerah (BUD) tidak taat pada aturan pengelolaan keuangan negara. Selama ini, kas bon itu terjadi karena perintah bupati/wakil bupati.
Sebagai bawahan, posisi BUD menjadi dilematis. Jika tidak setuju, bisa saja risikonya kehilangan jabatan atersebut. Dituruti, bertentangan dengan aturan hukum, dan bisa dipastikan akan menjadi temuan badan pemeriksaan keuangan (BPK) ketika melakukan audit keuangan daerah. Ibarat buah simalakama. Itulah posisi BUD, jika bupati dan wakil bupatinya, tidak taat aturan yang berlaku. “Harusnya bupati dan wakil bupati itu taat hukum. Jadi, tidak akan menjadi masalah di kemudian hari. Ini penting,” ujarnya.
Uang yang disebut kas bon dikeluarkan tanpa adanya surat perintah membayar (SPM). Mekanisme pengeluaran uang seperti SPM, itu tidak ada. Uang itu bisa keluar, hanya atas perintah kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mereka menyiasati menutupinya melalui uang yang dialokasikan dalam APBK-Perubahan, atau APBK murni tahun berikutnya. Pola ini yang dimainkan para pelaku kas bon di Aceh.
Selain itu, sebut Alfian, saat ini, koalisi LSM anti korupsi di Aceh sedang membuat rencana strategi (Renstra) untuk memberangus upaya-upaya kas bon di Aceh.
“Rentra ini nantinya akan kita serahkan ke Kejati, dan Kapolda Aceh. Kita harap, kedua lembaga itu melakukan pencegahan dengan mengeluarkan pernyataan bahwa kas bon haram. Jadi harus ditindak,” tegas Alfian.
Khusus untuk kasus di Aceh Tenggara, MaTA melansir, kas bon di daerah itu mencapai Rp 8,9 miliar. MaTA mendesak pihak Kejati Aceh menurunkan tim untuk mengusut kasus tersebut. Hasil kajian dan analisis MaTA terhadap hasil audit (pemeriksaan) yang telah selesai dilaksakan pada 13 Agustus 2010 oleh BPK-RI atas Sistem Pengendalian Interen dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemkab Agara 2009, ditemukan beberapa permasalahan yang berpotensi menyimpang dalam pengelolaan keuangan daerah dan negara, atau berpeluang untuk disalahgunakan.
Menurut Alfian, satu temuan bermasalah yaitu masih adanya sisa kasbon yang belum dipertanggung-jawabkan, sehingga dari hasil audit BPK-RI tidak bisa menyimpulkan apa-apa atau disclaimer. “Sesuatu yang buruk telah terjadi terhadap tatakelola pemerintahan Kabupaten Aceh Tenggara, sehingga butuh perhatian yang cepat oleh penegak hukum,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diperoleh MaTA dari BPK-RI melaui Kuasa Bendahara Umum Daerah (BUD), terdapat selisih kas daerah antara saldo di Bank dengan Buku Kas Umum (BKU) Pemkab Aceh Tenggara. Tercatat dalam BKU, sisa Kas Daerah sebesar Rp 11.639.097.586,91 sedangkan saldo di rekening bank milik Pemkab Aceh Tenggara per 31 Desember 2009 adalah sebesar Rp 2.661.122.016,91.
Menurut MaTA, selisih tersebut diakibatkan oleh adanya kasbon Pemkab Aceh Tenggara sejak tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun anggaran 2009 sebesar Rp 8.978.182.276,00 yang belum diselesaikan sesuai dengan pengelolaan keuangan yang baik.
Alfian menyatakan, permasalahan terjadi karena BUD dalam melaksanakan pengeluaran kas melalui kas daerah tidak berpedoman pada ketentuan yang berlaku. Selain itu Bupati Aceh Tenggara belum bersungguh-sungguh menghentikan terjadinya mekanisme kasbon di lingkungan Pemkab Agara. MaTA melihat ada unsur kesengajaan dilakukan oleh jajaran pemerintah sehingga terjadinya kasbon terus menerus.
Kas bon, ujar Alfian, merupakan pengeluaran uang pada kas daerah tanpa melalui Surat Perintah Membayar (SPM), namun hanya berdasarkan bukti kasbon yang disetujui oleh bupati, wakil bupati atau sekretaris daerah yang diberikan kepada beberapa satuan kerja dan pelaksana kegiatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara. Akibatnya pengelolaan keuangan menjadi tidak menentu dan berpotensi terjadinya kerugian negara.
Kondisi ini, tambah Alfian, bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada pasal 1 ayat (50) PP tersebut dinyatakan, Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar pencairan dana yang diterbitkan oleh BUD berdasarkan SPM. Pasal 65 ayat (1) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengeluaran atas beban APBD dilakukan berdasarkan SPM yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/ Kuasa Pengguna Anggaran, dan ayat (2) yang menyatakan bahwa pembayaran seperti yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penerbitan SP2D oleh Kuasa BUD.
Aturan lain yang dilanggar, lanjut Alfian, adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akutansi Pemerintahan dalam Pernyataan Nomor 03 Paragraf 8 yang menyebutkan definisi Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di bank yang setiap saat dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah.
Berdasarkan hal itu, MaTA mendesak Kajati Aceh menurunkan tim untuk mengusut tuntas kasus tersebut. Hal ini penting dilakukan mengingat kasus kasbon di Agara sudah terjadi sejak Tahun 2007-2009 dan belum ada pengusutannya, sehingga berpotensi terulang kembali.
“Kita berharap seluruh jajaran pemerintah kabupaten/kota di Aceh dapat mentaati aturan yang berlaku dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak mencederai rasa keadilan masyarakat,” pungkas Alfian.
--
Tabloid KONTRAS Nomor : 570 | Tahun XII 2 - 8 Desember 2010
Comments
Post a Comment