Konflik Kepentingan di Belantara Aceh
Yayasan Leuser Internasional (YLI) menyatakan, kerusakan hutan lindung di Aceh semakin parah. Hasil foto Citra Satelit Lancet ITM yang dilakukan akhir 2009 memperlihatkan luas kawasan hutan yang rusak mencapai 92.000 hektare. Dari jumlah itu, 34 persen atau 31.280 hektare terjadi pada kawasan hutan lindung.
DPRA mengundang YLI untuk meminta masukan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh yang baru, terkait masalah lingkungan. Masukan itu sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan draf Raqan RTRW yang sedang dibahas bersama eksekutif.
Walau hingga kini Pemerintah Provinsi Aceh masih memberlakukan moratorium logging atau jeda penebangan hutan, namun aksi pembalakan hutan di daerah ini dilaporkan terus berlangsung. Di kawasan Kabupaten Nagan Raya, misalnya, tidak kurang 100 hektare kawasan hutan lindung di pegunungan Singgah Mata, Kecamatan Beutong dan Kecamatan Persiapan Beutong Benggala, kini gencar dirambah penebang liar. Aksi itu belum tercegah.
Ini memang bukan persoalan baru bagi Aceh. Sejak lama sudah diketahui hutan rusak akibat pembalakan, pembukaan lahan perkebunan, dan untuk pemukiman. Kondisi tersebut memicu kerusakan lingkungan, menimbulkan banjir, dan tanah longsor.
Bukan hanya itu, dampak dari pembalakan hutan itu juga telah menimbulkan konflik antara satwa liar seperti harimau, gajah, dan babi dengan manusia di beberapa daerah. Gajah, harimau, dan babi kini makin sering berkeliaran di pemukiman penduduk serta dan menyerang masyarakat yang berdiam di tepi hutan. Yang paling meresahkan, binatang-binatabng itu kerap merusak tanaman pertanian dan perkebunan masyarakat.
Pejabat Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) beberapa waktu lalu pernah berkata bahwa hutan tak lagi cukup untuk mendukung kelangsungan hidup hewan-hewan itu. Karenanya, binatang-binatang liar itu turun ke kampung. Dan masyarakat sangat terteror oleh aksi-aksi binatang liar itu. “Dalam kondisi seperti itu mau kita apakan, sepanjang aksi illegal loging belum berhasil ditanggulangi di Aceh, gangguan harimau dan gajah sulit dicegah.”
Aksi pembalakan liar yang terjadi selama ini jelas-jelas telah menyebabkan menurunnya fungsi hutan dan lahan secara drastis. Sebaliknya, upaya rehabilitasi dan restorasi hutan belum memperlihatkan hasilnya. Jika salah satu penyebab gencarnya penebangan liar adalah karena kecilnya kawasan hutan budidaya, maka pemerintah bisa saja memperluarnya. Tapi, siapakah yang akan bisa menjamin setelah kawasan hutan budidaya diperluas, serangan terhadap hutan lindung oleh pembalak liar akan berhenti. Tampaknya sulit dipercaya. Sebab, penghasilan dari penjualan kayu log atau balok jauh lebih menggiurkan ketimbang lainnya.
Namun demikian, kita tetap setuju bahwa kawasan budidaya perlu diperluas dan hutan lindung tetap harus dilestarikan. Tinggal saja bagaimana pemerintah mengaturnya secara arif agar tidak saling bertabrakan. Sebab, sejak lama memang ada konflik kepentingan di hutan Aceh.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/news/view/49646/konflik-kepentingan-di-belantara-aceh
DPRA mengundang YLI untuk meminta masukan terhadap rencana tata ruang wilayah (RTRW) Aceh yang baru, terkait masalah lingkungan. Masukan itu sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan draf Raqan RTRW yang sedang dibahas bersama eksekutif.
Walau hingga kini Pemerintah Provinsi Aceh masih memberlakukan moratorium logging atau jeda penebangan hutan, namun aksi pembalakan hutan di daerah ini dilaporkan terus berlangsung. Di kawasan Kabupaten Nagan Raya, misalnya, tidak kurang 100 hektare kawasan hutan lindung di pegunungan Singgah Mata, Kecamatan Beutong dan Kecamatan Persiapan Beutong Benggala, kini gencar dirambah penebang liar. Aksi itu belum tercegah.
Ini memang bukan persoalan baru bagi Aceh. Sejak lama sudah diketahui hutan rusak akibat pembalakan, pembukaan lahan perkebunan, dan untuk pemukiman. Kondisi tersebut memicu kerusakan lingkungan, menimbulkan banjir, dan tanah longsor.
Bukan hanya itu, dampak dari pembalakan hutan itu juga telah menimbulkan konflik antara satwa liar seperti harimau, gajah, dan babi dengan manusia di beberapa daerah. Gajah, harimau, dan babi kini makin sering berkeliaran di pemukiman penduduk serta dan menyerang masyarakat yang berdiam di tepi hutan. Yang paling meresahkan, binatang-binatabng itu kerap merusak tanaman pertanian dan perkebunan masyarakat.
Pejabat Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) beberapa waktu lalu pernah berkata bahwa hutan tak lagi cukup untuk mendukung kelangsungan hidup hewan-hewan itu. Karenanya, binatang-binatang liar itu turun ke kampung. Dan masyarakat sangat terteror oleh aksi-aksi binatang liar itu. “Dalam kondisi seperti itu mau kita apakan, sepanjang aksi illegal loging belum berhasil ditanggulangi di Aceh, gangguan harimau dan gajah sulit dicegah.”
Aksi pembalakan liar yang terjadi selama ini jelas-jelas telah menyebabkan menurunnya fungsi hutan dan lahan secara drastis. Sebaliknya, upaya rehabilitasi dan restorasi hutan belum memperlihatkan hasilnya. Jika salah satu penyebab gencarnya penebangan liar adalah karena kecilnya kawasan hutan budidaya, maka pemerintah bisa saja memperluarnya. Tapi, siapakah yang akan bisa menjamin setelah kawasan hutan budidaya diperluas, serangan terhadap hutan lindung oleh pembalak liar akan berhenti. Tampaknya sulit dipercaya. Sebab, penghasilan dari penjualan kayu log atau balok jauh lebih menggiurkan ketimbang lainnya.
Namun demikian, kita tetap setuju bahwa kawasan budidaya perlu diperluas dan hutan lindung tetap harus dilestarikan. Tinggal saja bagaimana pemerintah mengaturnya secara arif agar tidak saling bertabrakan. Sebab, sejak lama memang ada konflik kepentingan di hutan Aceh.
Sumber : http://aceh.tribunnews.com/news/view/49646/konflik-kepentingan-di-belantara-aceh
Comments
Post a Comment