Adat Suku Alas Mengurus Manyit/Jenajah
Manusia  berakal merupakan syarat mutlak bagi pendukung suatu kebudayaan, karena  akal penyebab adanya kebudayaan, akal melahirkan pikir dan rasa.  Keseluruhan pikir dan rasa yang ada dalam pemikiran manusia, merupakan  hal yang sangat bernilai dalam hidupnya, sebagai pedoman tertinggi atas  perilakunya. Dengan demikian pikir dan rasa atau konsepsi-konsepsi yang  ada dalam alam pikiran masyarakat ( sistem nilai budaya), tidak langsung  terlihat, melainkan tercermin dan terwujud dalam pola tingkah laku,  pergaulan sosial serta pemikiran masyarakat yang bersangkutan.
Nilai-nilai  budaya yang menjadi ciri-ciri kehidupan suatu masyarakat biasanya  terkandung di dalam sumber-sumber tertulis, lisan dan gerak.  Sumber-sumber tertulis dapat berupa naskah-naskah kuno. Sumber lisan  berupa cerita-cerita rakyat, sastra lisan, Sedangkan sumber gerak  terwujud dalam kegiatan seperti permainan rakyat, upacara-upacara.
Upacara  tradisional adalah merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari  kebudayaan, tumbuh dan berkembang secara historis pada masyarakat  pendukungnya, berfungsi mengukuhkan norma-norma sosial dan nilai-nilai  luhur. Salah satu upacara tradisional yang masih dan terus dipertahankan  oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara kematian. Banyak orang yang  menganggap sepele terhadap upacara kematian. Orang lebih tertarik  memperhatikan upacara daur hidup yang lain seperti upacara perkawinan  dan ritual adapt yang lain. Padahal apabila kita amati dengan seksama  sebagai mana yang telah diungkapkan di atas, upacara kematian juga  megandung nilai-nilai luhur yang pada akhir akan diwarisi oleh para  penerus pendukung kebudayaan tersebut.
Sebagaimana pula dengan  masyarakat lain di belahan bumi ini, masyarakat Alas yang menempati  wilayah Provinsi Aceh, atau tepatnya di Kabupaten Aceh Tenggara (suku  Alas) juga memiliki upacara kematian.
Deskripsi Upacara
1. Masa mayat di Rumah
Apabila  seseorang telah dinyatakan meninggal dunia, maka salah seorang dari  keluarganya cepat-cepat datang memberi tahukan kepada kepala kampong  atau Pengurus Masjid/ Meunasah agar dapat diumumkan oleh kepala  kampong/Pengurus Masjid/ Meunasah kepada semua penduduk kampung bahwa  dalam kampungnya ada orang yang meninggal dunia.
Orang yang  meninggal (seterus disebut mayit) dibaringkan di tempat tidur atau  tempat khusus di ruangan tamu dan ditutup dengan kain beberapa lapis  tebalnya. Para pelayat yang datang membuka bagian kepala mayat untuk  melihat wajah yang terakhir. Disekeliling mayat duduk beberapa orang  keluarga untuk menjaganya sambil membacakan ayat-ayat Al-Qur’an (Surat  Yasin).
Para warga kampung sewaktu mendengar pengumuman dari  Masjid/Meunasah cepat-cepat datang ke rumah duka untuk membantu segala  keperluan untuk persiapan upacara kematian. Kepala desa yang disebut  pengulu, memimpin acara. Beliau memimpin masyarakat desa mempersiapkan  segala sesuatunya untuk keperluan upacara kematian.
Kaum  laki-laki terutama para pemuda ada yang bertugas mengeluarkan  kursi-kursi dan Barang-barang lain yang ada di dalam rumah ke halaman  rumah untuk tempat duduk para tamu. Beberapa anak muda lainnya berkumpul  di samping atau dibelakang rumah untuk membuat keukheunde (peti mayat).  Sedang yang lainnya mendapat tugas menggali lubang lahat (kubur). Kaum  bapak dengan dipimpin oleh imam dikerahkan untuk mempersiapkan kain  kafan. Di dapur para ibu sibuk dengan menanak air untuk memberikan minum  kepada tamu.
Anggota keluarga orang yang meninggal mempersiapkan  kebutuhan proses penguburan, seperti menyediakan kain kafan, papan  keurreunda beserta alat-alat pembuatnya, ramuan air badar yang terdiri  dari jeruk purut, mengkur, kunyit, beras yang digiling halus. Ramuan air  badar ini untuk disiram atau digosokkan pada tubuh mayat agar tidak  berbau setelah mayat selesai dimandikan. Segala keperluan upacara  penguburan tersebut dipersiapkan secara bersamaan agar dapat bersamaan  pula selesainya. Sehingga pada saat proses penguburan tidak menemui  kendala.
Dalam keluarga masyarakat Alas ada kebiasaan begitu  meninggal seseorang, terus diberi tahukan kepada sanak keluarga atau  kaum kerabatnya, terutama sekali untuk kerabat yang paling dekat yakni  dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego (orang yang  meninggal). Mengenai para kerabat, mereka harus diberitahukan secara  khusus dari salah satu anggota keluarga almarhum atau orang yang  diutusnya (metue alang). Kalau tidak hal ini akan menyebabkan keretakan  hubungan kekerabatan.
Setelah segala persiapan selesai dan orang  yang ditunggu telah hadir khususnya dari pihak wali simayit) kepala  kampung memberi tahukan kepada salah seorang anggota keluarga bahwa  mayat sudah siap untuk dikuburkan. Karena bagi masyarakat Alas yang  sebagian besar memeluk Islam, mayat harus cepat-cepat dikuburkan, paling  lama mayat di rumah satu hari lamanya.
Acara selanjutnya adalah  membawa mayat ke sungai untuk dimandikan. Pada saat inilah anggota  keluarga dan kerabat dari orang yang meninggal itu sekali lagi menangisi  mayat dengan bermacam-macam tuturan kepada yang baik-baik saja yang  pernah diperbuat selama mayat masih hidup dan biasanya salat satu dari  pihak keluarga memberikan pidato yang berisi tentang permohonan maaf  atas nama simayit dan bila ada masalah utang piutang agar sesegera  mungkin diselesaikan dengan pihak keluarga hal ini dilakukan agar  simayit menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat  diselesaikan sebelum simayit di kebumikan/dikuburkan.
Mengenai  acara tangis-tangisan ini, dahulu sebelum adanya larangan dari para  ulama setempat, masyarakat Alas pada waktu upacara kematian melakukan  suatu kesenian yang disebut ngeratap. Seni ngeratap ini merupakan  kebudayaan Karo (juga masyarakat Batak lainnya) sehingga orang Alas  sering dianggap berasal dari satu keturunan dengan orang Karo.
Sejak  permulaan abad-20, yakni setelah banyak ulama menyandang paham  pemurnian ajaran Islam, maka ngeratap mulai disimak kembali statusnya.  Para ulama tersebut melarang keras segala bentuk ngeratap karena hal itu  melambangkan keputusasaan, sedangkan Allah SWT adalah Maha Pengasih.  Karena itu ngeratap dapat digolongkan kepada perbuatan syirik/dilarang  dalam Agama.
2. Masa Memandikan Mayat
Bagi sebagian besar  masyarakat Alas, memandikan mayat biasanya dilakukan di sungai. Hal ini  terkait dengan kondisi alam daerah setempat yang sangat jarang sumur,  namun banyak memiliki sungai. Sehingga segala kebutuhan terhadap air  diambil dari sungai.
Peserta upacara memandikan mayat terdiri  dari orang yang ahli memandikan mayat, seperti imam, khatib. Mereka  dibantu oleh keluarga dari orang yang meninggal itu, seperti, anaknya,  wali atau anggota kerabat yang lain. Dalam upacara ini imam menjadi  pemimpin pelaksanaan sampai upacara selesai. Sedangkan orang lain  menjadi anggota pelaksana.
Mayat yang masih berbaring ditempat  tidur tadi, diangkat dan dimasukkan ke dalam usungan. Kemudian usungan  dihiasi dengan berbagai warna-warni kain yang bagus-bagus. Sebelum mayat  diusung ke luar rumah anak-keluarga mengadakan mengkiran (menusuki)  mayat melalui bawah usungan, agar mayat jangan teringat kepada anak dan  keluarganya di dalam kubur nanti dan biasanya sebelum mayit turun dari  rumah duka diazankan.
Sesudah acara menusuki oleh keluarga  selesai, usungan mayat dipayungi dengan paying dan dibawa ke arah  sungai. Sesampainya mayat di sungai, usungan dengan amat perlahan-lahan  diturunkan ke dalam air. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat yang  tidak dalam airnya, kira-kira sedalam 30 cm dan waktu mayat dipangku  dapat mengenai air. Sebelum mayat diturunkan dari usungan, para keluarga  yang turut memandikan mayat duduk berbaris di dalam air. Imam memberi  instruksi cara-cara memandikan mayat.
Acara selanjutnya imam  mengosokkan mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap bersih,  barulah imam menyiram mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini adalah  sebagai air pembersih terakhir, dan bila telah sampai sembilan kali  penyiraman dilanjutkan dengan mengambilkan (melakukan) wudu’/air  sembahyang untuk si mayit, maka mayat dianggap sudah bersih.
Setelah  mayat bersih lalu diangkat ke atas tepi sungai pada bentangan tikar  yang sudah disediakan. Imam mengambil kain kafan pembungkus mayat yang  sudah disediakan. Setelah selesai pengafanan acara dilanjutkan dengan  salat jenazah. Tempat salat jenazah ada kalanya di tepi sungai tempat  memandikan mayat dan ada pula di masjid atau meunasah. Biasanya kalau  masjid atau meunasah jauh letaknya dengan tempat memandikan mayat, maka  salat jenazah dilakukan di tepi sungai tersebut. Namun, jika letak  masjid atau meunasah dekat, maka salat jenazah dilaksanakan di masjid  atau meunasah tersebut.
Setelah selesai acara salat jenazah,  mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan dengan diusung dalam peraran.  Usungan mayat berada di depan dengan dipayungi oleh seseorang agar  tidak terkena sinar matahari.
3. Masa Penguburan Mayat
Setelah  kuburan siap dan mayat telah sampai diusung ke lokasi kuburan, maka  mayat diangkat dari peraran, lalu dimasukkan ke dalam kubur. Setelah  mayat dimasukkan ke dalam kubur, tali pada kepala dibuka agar mayat  tidak menjadi terkurung dalam kain kafan setelah itu di kumandangkan  suara azan oleh salah satu anggota keluarga. Kemudian ditimbun kembali  dengan tanah bekas galian tadi. Dalam menimbun mayat dengan tanah  dilakukan dengan hati-hati, karena ada anggapan di masyarakat Alas bahwa  mayat harus diberlakukan sebagaimana orang yang masih hidup namun sudah  tidak bisa berbicara lagi.
Setelah tanah ditimbun, kemudian imam  mengambil dua batang geloah (batang jarak) lalu ditanam pada bagian  kepala dan bagian kaki mayat dalam kuburan. Maksud penanaman batang  geloah ini adalah sebagai tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan  (seperti kebiasaan masyarakat Sumatra pada umumnya kuburan baru belum  diberi nisan pemberian tanda ini sebagai penganti nisan sementara).
Apabila  geloah sudah ditanam, lalu imam mengambil air yang sudah disediakan  untuk menyiram di atas kubur. Kemudian dengan duduk bagian kepala  kuburan dekat batang geloah yang di tanam tadi, imam membaca talkin dan  doa penutup yang diikuti oleh hadirin.
Sesudah selesai membaca  talkin, salah seorang anggota keluarga mengucapkan pidato terima kasih  kepada semua yang terlibat dalam upacara tadi. Dalam pidato tersebut  juga diumumkan juga pada kerabat dan warga kampung untuk dapat  mengunjungi rumah orang yang meninggal itu dari malam pertama sampai  dengan malam ketiga. Selesai pidato ucapan terima kasih berarti berakhir  pula upacara penguburan dan ahli waris juga kembali mengingatkan agara  kalau sengkiranya ada masalah utang piutang yang tidak bisa dimaafkan  agara menghungi ahli waris untuk diselesaikan.
4. Masa Takziah
Upacara  takziah sering dilakukan pada setiap kematian pada masyarakat Alas.  Upacara ini dilakukan sebagai peringatan bagi yang bertakziah dan juga  untuk mendoakan supaya arwah si mayat mendapat tempat yang baik di sisi  Allah SWT. Upacara takziah ini dilakukan selama tiga hari  berturut-turut, yakni malam pertama, malam kedua dan malam ketiga  setelah upacara penguburan. Peserta takziah biasanya terdiri dari warga  kampung dan beberapa kaum kerabat. Kehadiran warga kampung sesuai dengan  undangan yang telah diumumkan pada saat penguburan mayat. Sedangkan  kehadiran kaum kerabat pada saat ini terjadi karena adanya rasa tanggung  jawab membantu kerabat.
Acara biasanya dilaksanakan setelah  salat magrib, namun sebelumnya para ibu baik warga kampung maupun kaum  kerabat datang terlebih dahulu ke rumah duka dengan membawa kue-kue ala  kadarnya sebagai bahan makanan setelah selesai takziah. Pelaksanaan  acara takziah dipimpin oleh imam setelah semua undangan tiba. Acara  dimulai dengan pembacaan surat Yasin, tahlil dan tahtim yang diakhiri  dengan pembacaan doa. Lama tidaknya acara takziah ini tergantung panjang  pendeknya bacaan takziah yang dipimpin oleh imam selanjutnya pemberian  kata-kata kakziah oleh ulama yang diundang.
Setelah pembacaan  takziah selesai, para kerabat dibantu kaum muda kampung menghidangkan  makanan dan minuman sederhana pada para peserta takziah. Seusai makanan  dan minuman siap dihidangkan pada seluruh peserta, salah seorang kerabat  berdiri dan berpidato singkat yang intinya mempersilahkan para hadirin  mencicipin hidangan ala kadarnya. Apabila acara makan minum selesai maka  para hadirin dipimpin imam memohon diri pada tuan rumah untuk pulang ke  rumah masing-masing. Demikianlah seterusnya sampai pada hari ketiga.
Didalam  adat alas dikenal pemberian talkin untuk pada pentakziah talking ini  biasanya berupa piring dari kaca, beras yang dibungkus dalam sumpit  (kantongan dari ayaman pandan) dan uang, talking ini dimaksud agar pada  pentakziah mendoakan simayit selama persedian talkin.
5. Masa Hari Ketujuh
Upacara  hari ketujuh dilaksanakan agak lebih besar dari upacara sebelumnya.  Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan pemotongan kerbau atau sapi.  Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu cukup dilakukan secara sederhana,  namun tetap lebih besar dari upacara sebelumnya.
Sebelum upacara  hari ketujuh dilaksanakan, keluarga orang yang meninggal sibuk membuat  sirih undangan yang disebut pemanggo. Sirih ini disampaikan kepada kaum  kerabat dan orang-orang yang dianggap penting untuk datang pada upacara  malam ke tujuh. Penyampaian sirih undangan dilakukan oleh salah seorang  kerabat yang biasanya kaum perempuan yang dibantu seorang laki-laki.
Kaum  kerabat apabila sudah mendapat sirih pemanggo, ia sibuk mempersiapkan  bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga orang yang meningggal  itu. Kesibukan ini lebih-lebih bagi kerabat yang sangat dekat  hubungannya. Bahan bawaan berupa: limon satu lusin, kerotuum (nasi  bungkus yang dibungkus dengan daun pisang yang bentuknya bulat panjang),  lauk pauk satu susun (rantang), kelapa ala kadarnya, telur bebek, beras  ala kadarnya, dan uang.
Pada saat penyerahan bawaan ini  terdengar tutur kata adat yang sering dilakukan masyarakat Alas yang  intinya adalah agar tuan rumah sudi menerima bawaan yang ala kadarnya  itu. Sedangkan dari pihak tuan rumah dibalas dengan tutur kata adat yang  pada intinya mengucapkan rasa terima kasih.
Malam harinya  (biasanya setelah magrib), para undangan mulai memenuhi tempat yang  telah disediakan. Setelah dirasa telah cukup banyak orang berkumpul,  imam memulai acara tersebut dengan samadiah. Setelah pembacaan samadiah  selesai, imam melanjutkannya dengan membaca doa.
Sesudah selesai  pembacaan doa oleh imam, acara dilanjutkan dengan penentuan siapa yang  bertanggung jawab terhadap ahli waris. Acara ini sering disebut dengan  acara berbadas. Kalau yang meninggal itu ada meninggalkan anak laki-laki  yang sudah berumur acara berbadas tidak dilakukan, karena ia dapat  langsung bertanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggalkan. Acara  berbadas ini sering dilakukan, apabila ahli waris yang ditinggalkan  belum tentu identitas yang jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap  ahli waris itu.
Acara berbadas dipimpin oleh tengku imam dengan  disertai oleh penghulu desa (kepala desa). Karena secara adat dan hukum  mereka lebih mengetahuinya. Adat berada pada penghulu dan hukum ada pada  tengku imam. Pada saat ini semua kerabat duduk menyaksikan acara.  Tanggung jawab yang dilimpahkan ini meliputi tentang status hukum  seperti bila anak yang ditinggalkan itu hendak kawin, maka yang  bertanggung jawab adalah wali yang diputuskan dalam acara berbadas itu.  Begitu juga tanggung jawab tersebut meliputi juga untuk membesarkan  anak-anaknya, termasuk pendidikannya.
Setelah selesai acara berbadas  kepada tamu masih diberikan hidangan lagi dengan minum bersama. Setelah  selesai acara minum bersama seorang kerabat yang dilimpahkan tanggung  jawab dalam berbadas tadi menyampaikan pidato sebagai kata penyambutan  dan menutup acara malam ketujuh ini.
6. Masa Tanam Batu
Sebagaimana  kuburan lain, kuburan masyarakat Alas juga memiliki batu nisan. Maksud  dari pengunaan batu nisan tidak lain karena untuk sebagai tanda agar  tidak mudah dilupakan orang bahwa di tanah tersebut terdapat kuburan.
Bagi  masyarakat Alas penanaman batu nisan tidak langsung ditanam pada  kuburan sewaktu upacara penguburan, tetapi ada waktu tertentu, yakni  pada saat dilakukannya upacara tujuh hari, namun karena kesibukan  keluarga, maka penanaman batu nisan dilakukan sehari setelah pelaksanaan  upacara tujuh hari.
Sebelum dilaksanakan upacara penanaman batu  nisan, terlebih dahulu dipersiapkan batu nisan. Selain itu juga  dipersiapkan pula nasi ketan kuning untuk dimakan bersama dan air yang  diramu dengan irisan jeruk purut untuk disiram di atas kuburan.
Penanaman  batu dilakukan pada pagi hari, dengan dipimpin oleh seorang imam. Para  peserta biasanya adalah kaum kerabat, namun ada pula warga kampung yang  menghadirinya. Upacara dimulai dengan penyiraman kuburan dengan air yang  telah disediakan. Penyiraman ini dilaksanakan oleh imam sebanyak tiga  kali dari atas kuburan (kepala) sampai bawah (kaki) sambil membaca doa.  Kemudian batu yang bagian atasnya telah dibungkus dengan kain putih dan  disediakan dalam sebuah talam (tapesi) diambil oleh tengku imam serta  ditanam di atas kuburan pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira  setengah bagian dengan posisi batu yang tertutup kain berada di atas.
Setelah  selesai menanam batu pada bagian kepala, tengku imam melanjutkan  menanam batu pada bagian kaki kuburan. Kedua batu tersebut ditanam tidak  jauh jaraknya dengan pohon geloah yang telah ditanam sebelumnya pada  saat penguburan.
Sesudah selesai menanam batu, tengku imam  berjongkok disamping kuburan untuk membaca doa yang diikuti oleh para  hadirin. Selesai pembacaan doa, acara dilanjutkan dengan makan bersama  nasi ketan kuning yang telah disediakan. Selesai makan, berarti selesai  pula upacara menanam batu.
7. Masa Empat Puluh Hari
Upacara  empat puluh hari merupakan acara penutup dari seluruh rangkaian upacara  kematian pada masyarakat Alas. Upacara ini tidak dilakukan secara  besar-besar, tetapi dilaksanakan dengan sangat sederhana.
Dalam  mengundang peserta acara, tidak memerlukan sirih pemanggo, tetapi cukup  dengan pemberitahuan secara lisan. Peserta upacara ini terdiri dari  warga kampung dan juga kerabat yang berdekatan tempat tinggalnya.
Pelaksanaan  upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke  tujuh, yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan  diakhiri dengan pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri  makan bersama. Seusai makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian  upacara kematian pada masyarakat Alas.
Nilai- Nilai Yang Terkandung
Seperti  yang telah dibicarakan di atas, bahwa nilai-nilai suatu kebudayaan  dapat tercermin dari segala aktifitas kehidupan masyarakat pendukungnya.  Dengan demikian upacara kematian pada masyarakat Alas juga banyak  mengandung nilai-nilai budaya yang pada akhirnya diwariskan pada  generasi penerus. Adapun kandungan nilai budaya yang ada diantaranya  adalah; nilai ilmu, nilai agama, nilai seni , nilai solidaritas.
Nilai Ilmu
Dalam  deskripsi upacara di atas telah digambarkan bahwa pelaksanaan upacara  kematian pada masyarakat Alas banyak mengandung aturan-aturan yang  tentunya perlu dipelajari oleh masyarakat. Selama ini penyelenggaraan  upacara kematian banyak dipimpin oleh seorang imam. Namun dalam  pelaksanaanya imam menurunkan ilmunya pada masyarakat agar dapat  membantu kelancaran tugasnya dalam menyelenggarakan upacara kematian  seperti yang terlihat dalam hal memandikan mayat. Dengan demikian  terjadi suatu pentrasferan ilmu dari seseorang yang menguasai ilmu  tersebut pada orang yang belum mengetahuinya dan dimasukkan dalam  pelajaran-pelajaran dalam pengajian.
Nilai Agama
Telah  dipahami bahwa agama adalah kepercayaan dan hubungan pada yang kudus  lewat upacara, pemujaan dan pemahaman. Hubungan ini membentuk pengabdian  dan ibadat, berisikan doktrin ajaran-ajaran agama. Salah satu nilai  agama yang dapat diambil dalam upacara kematian adalah adanya hubungan  manusia dengan penciptanya. Dimana manusia tidak lebih dari ciptaan Yang  Maha Pencipta. Sehingga kapan pun Allah SWT menginginkan sesuatu itu  terjadi, maka terjadilah sesuatu tersebut.
Nilai Seni
Nilai  sebuah seni dapat diukur dengan adanya sesuatu yang indah dari hasil  karya manusia. Nilai seni yang dapat ditemukan pada upacara kematian  ini, misalnya ; Samadiah (tahlilan) yang dalam samadiah ini dibacakan  doa-doa yang bertujuan untuk mendoakan agar amal dan pahala yang  meninggal diterima di sisi Allah SWT. Dalam membaca doa terdengar  irama-irama yang indah dari seni membaca Al qur’an. ; Penghiasan kain  penutup usungan. Dalam membuat hiasan pada kain penutup usungan  memerlukan sebuah keahlian seni tersendiri. Ada anggapan dalam kalangan  masyarakat, bahwa usungan harus dihias dengan seindah mungkin untuk  menandakan kebesaran orang yang meninggal.
Nilai solidaritas
Salah  satu kesempatan berkumpulnya anggota kerabat amupun warga setempat  adalah dalam upacara kematian. Berkumpulnya kerabat ataupun warga  kampung yang terdiri dari berbagai lapisan sosial menandakan bahwa  terjalinnya rasa solidaritas diantara mereka.
Nilai solidaritas  diantara mereka tidak hanya diwujudkan pada kehadirannya dalam upacara  kematian, tetapi juga diwujudkan dalam sebuah gerakan spontanitas berupa  gotong royong dalam mempersiapkan segala sesuatu demi terlaksananya  upacara kematian tersebut.
Apabila kita melihat deskripsi di  atas, maka terlihat tingginya nilai solidaritas masyarakat yang  tercermin pada pembagian kerja yang spontan dalam upacara kematian.
Upacara  kematian pada masyarakat Alas bukan hanya sebuah aktivitas manusia  dengan manusia, tetapi lebih dari itu, yakni juga meliputi aktivitas  hubungan manusia dengan kekuatan supranatural. selain itu juga upacara  ini mengandung banyak nilai-nilai tradisi yang pada akhirnya nanti  diturunkan pada generasi penerus. Sebagaimana juga dengan  upacara-upacara tradisi lainnya yang banyak mengalami pergeseran dan  perubahan, begitu pula dengan upacara kematian yang sifatnya temporer  ini. Namun, perubahan bukanlah untuk ditakuti atau ditentang, tetapi  kita sebagai pendukung tradisi tersebut dapat menyikapinya dengan  kearifan.
 
Comments
Post a Comment