Jamin Ginting dari induk Resimen I juga mundur ke Tanah Alas.
- Get link
- Other Apps
Area Masa Agresi Kedua
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan aksi militer kedua. Sebelum ditawan Belanda, Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, yaitu Menteri Kemakmuran RI yang sedang berada di Sumatera agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Sementara Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggalkan ibukota negera Yogyakarta untuk memimpin perang gerilya.
Sehubungan dengan Agresi Belanda Kedua, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo mengeluarkan Penetapan/Perintah, No. GM/126//S. Per. B. Tanggal 19 Desember 1948, bahwa Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan Tentara Pelajar Islam (TPI) dimobilisasi ke dalam Divisi X Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Menyambut perintah Gubernur Militer itu, maka anggota-anggota TPI dan TRIP segera dimobilisasi menjadi satu kesatuan dengan Divisi X TNI. Sebanyak 280 orang anggota TPI bertugas dalam angkatan darat, 60 orang angkatan laut, dan beberapa orang pada kepolisian, Palang Merah, dan RRI Kutaraja.
Ketika Agresi Belanda Kedua, suasana perang betul-betul meliputi segenap penjuru Aceh. Di kampung-kampung setiap hari dilakukan latihan perang untuk mempersiapkan diri menghadapi musuh. Rapat-rapat umum diadakan bergiliran dari kampung ke kampung, yang bertujuan untuk menggelorakan semangat juang melawan Belanda. Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang di Jalan Allah) dibacakan secara bersambung di meunasah-meunasah yang dihadiri penduduk setempat setelah shalat ‘isya.
Masih dalam rangka meningkatkan semangat perjuangan rakyat, Gubernur Militer Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh juga mengutus beberapa ulama ke seluruh Aceh. Tahap pertama meliputi wilayah Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Aceh Tengah. Tahap kedua menjangkau Aceh Besar, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Di antara ulama yang diutus tersebut ialah: Tgk. H. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Di Lam U, Haji Abdurrahman Syihab, Bachtiar Yunus, Yunus Harahap, A.R. Hasyim, Mawardi Noor, dan Ismail Muhammad. Para ulama ini berkeliling dari kampung ke kampung untuk memberi penerangan kepada rakyat, yang antara lain menanamkan semangat jihad untuk membela kemerdekaan negara Indonesia.
Menghadapi agresi kedua, pasukan TNI di Langkat Area dan Tanah Karo juga segera dipersiapkan untuk menghadapi serbuan Belanda. Mereka terdiri beberapa peleton, yaitu:
* Peleton A dipimpin Sersan Mayor Hasan Cumbok, bertugas mempertahankan Pangkalan Berandan.
* Peleton B dipimpin Pelda Cut Usman bertahan di front terdepan KSBO, Palumanis.
* Peleton C dipimpin Peltu Johanes, bertugas di pantai Pangkalan Susu dan sekitarnya, bersekutu dengan Batalyon Kapten Habi Wahidy dan Batalyon Wiji Alfisah.
* Peleton D dipimpin Pelda Usman Maun, berkedudukan di Titi Pelawi, dengan tugas memperkuat front terdepan KSBO.
Keempat peleton itu juga diperkuat dengan pasukan Beterai II Artileri (pasukan meriam) yang dipimpin Kapten Nukum Sanany. Kehadiran pasukan meriam ke Langkat Area yang semula berkedudukan di Kuala Simpang ini berdasarkan perintah Gubernur Militer tanggal 4 Mei 1949; mengingat kondisi perang yang semakin genting. Tentara Pelajar Resimen II Aceh Divisi Sumatera juga turut membantu pasukan meriam ini.
Sementara itu, pasukan Belanda yang melakukan agresi di Langkat Area terdiri dari dua Batalyon pasukan tempur, yaitu Batalyon 5-11 RI dan Batalyon 4-2 RI, tersusun dalam lima kompi, yakni:
* Kompi 1.5-1 RI di Binjai, termasuk Tanjung Keliling dan sekitarnya.
* Kompi 2.5-11 RI di Tanjung Pura.
* Kompi 3.5-11 RI juga di Tanjung Pura, Gebang, Bukit Tua, Jembatan Serapuh, Kuala Gebang dan sekitarnya.
* Kompi 4.5-11 RI di Batang Serangan Sawit Seberang, Namunggas, dan pos-pos Tanjung Selamat.
* Kompi Oost (Bantuan khusus) di Tanjung Pura, Namunggas, Gebang, dan Bukit Serangan.
Bagi wilayah Karo b Belanda membagi pasukannya pada 22 Desember 1948 kepada empat Steenbok (Kambing bandot tua), yang merupakan pasukan Batalyon 5-10 RI. Pembagian Steenbok sebagai berikut:
* Steenbok-I dipimpin Mayor W.A. Hoevenaars, berkendaraan 100 buah, untuk tugas tempur. Daerah yang harus mereka duduki adalah Sidikalang. Setelah berhasil, sebagian pasukan harus bergerak ke Tiga Lingga mengganti Steenbok-III.
* Steenbok-II, dipimpin Kapten A.L. de Kort bertugas menutup jalan Lau Renun untuk menghadang pasukan RI yang melintas melalui jalan tersebut.
* Steenbok-III, dipimpin Kapten F. Slootman bergerak dari Lau Balang ke Tiga Lingga, untuk merebut kota ini. Setelah dikuasai, selanjutnya diserahkan kepada Steenbok-I yang akan menggantikannya.
* Steenbok-IV, dipimpin Letnan J.H. Gerritse mendapat tugas untuk memotong pasukan bantuan RI yang datang dari daerah Aceh dan kalau perlu memukul mundur kembali ke Aceh.
Menghadapi agresi kedua, pasukan TNI di Tanah Karo juga diperkuat. Sebelum era Gubernur Militer, pasukan kelaskaran di wilayah ini masih terpencar-pencar. Di antara kesatuan mereka adalah Napindo, Halilintar, Harimau Liar dan lain-lain. Setelah keluar Surat Perintah Gubernur Militer tentang penggabungan laskar ke dalam TNI, maka tanggal 31 Januari 1949 dibentuklah sebuah resimen gabungan TNI di Tanah Karo, yang disusun sebagai berikut:
* Komandan: Letkol Jamin Ginting (TNI); Wakil Komandan: Mayor Selamat Ginting (Napindo); Kepala Operasi: Mayor Payung Bangun (Harimau Liar); Kepala Organisasi: Mayor Sihar Hutauruk (TNI); Penasehat-penasehat: Kolonel Mohammad Din, Mayor (Tit) Tama Ginting, Mayor (Tit) Muda Sedang; Mahkamah Tentara: Mayor (Tit) Jaga Bukit.
Upaya penggabungan ini tidak berjalan mulus. Hampir semua kelompok kelaskaran masih berjuang sendiri-sendiri. Hanya Pesindo yang masih tetap bergabung dengan TNI. Karena itu, dibentuklah Batalyon XVIII Divisi X/TNI Komandemen Sumatera. Batalyon baru ini menampung penggabungan dari Pesindo Kaban Jahe, Deli Hulu, Asahan, dan Tanah Karo ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada awal agresi kedua, pihak Belanda berhasil menduduki beberapa tempat posisi pasukan Republik di Langkat dan Tanah Karo. Pasukan Batalyon II Resimen I pimpinan Maat yang bertugas di Tanah Karo, terpaksa mengundurkan diri ke Tanah Alas (Aceh), yakni tempat induk pasukannya. Pasukan pimpinan Jamin Ginting dari induk Resimen I juga mundur ke Tanah Alas.
Selain itu, sebagian besar penduduk Tanah Karo ikut mengungsi pula ke Tanah Alas. Menurut catatan resmi Pemerintah Daerah di Kutacane sekitar tanggal 31 Desember 1948, jumlah pengungsi di Tanah Alas berjumlah lebih kurang 30.000 orang. Semenjak itu Tanah Alas dijadikan basis perlawanan terhadap Belanda yang sudah menguasai Tanah Karo di Sumatera Timur. Lawe Kesumat adalah daerah perbatasan, tempat mengatur segala kebutuhan perlawanan terhadap musuh. Lawe Kesumat berada di bawah pimpinan Letnan I Syahadat.
Enam bulan setelah agresi kedua yang dimulai 19 Desember 1948, kemampuan tentara Indonesia menghadapi tentara Belanda mulai nampak. Serangan Belanda yang dilancarkan pada 30 Juni 1949 terpaksa “gigit jari” setelah dihadang TNI. Saat itu pesawat tempur musuh jenis Mustang melakukan serangan udara ke daerah pertahanan di Medan Area, yaitu Gebang, Pelawi, Securai, Palumanis, dan Pangkalan Berandan. Serta-merta serangan musuh itu mendapat gempuran balasan dari pihak Republik dengan tembakan-tembakan meriam. Akibat tembakan itu pesawat Mustang Belanda segera putar haluan menyelamatkan diri. Pada hari berikutnya, pihak Belanda juga melanjutkan serangan udara yang ditujukan ke Markas KSBO (Komando Sektor Barat Oetara), namun serangan ini segera dihalau pasukan kita dengan dentuman meriam yang menyebabkan pesawat musuh menjauhkan diri.
Pertempuran perbatasan Tanah Alas dan sekitar Tanah Karo terjadi terus-menerus setiap hari, terutama setelah Aceh menolak Negara Federasi. Ketika itu Belanda hendak menembus ke Aceh lewat Tanah Karo. Namun, pasukan RI yang berkubu di wilayah kewedanaan Tanah Alas dengan gigih menghalang gerakan tentara Belanda.
Suatu pertempuran dahsyat terjadi tanggal 30 Juli 1949. Ketika itu pasukan Bagura (Barisan Gerilya Rakyat) siap tempur untuk menghadang serdadu Belanda yang akan menyerang Tanah Alas. Pasukan Belanda yang didukung mobil lapis baja berusaha menghancurkan pertahanan. Pasukan Bagura melancarkan serbuan serentak, sehingga pertempuran sengit berlangsung selama lima jam lebih. Menjelang tengah hari, bala bantuan Belanda datang, sehingga gerilyawan Bagura segera mengundurkan diri.
Dalam pertempuran ini banyak serdadu Belanda menjadi korban. Mayat-mayat mereka bergelimpangan di mana-mana di setiap sudut area pertempuran. Tanpa diketahui Belanda, di antara orang-orang *Belanda* yang tewas itu terdapat tiga orang Pang (para pemimpin perang) dari pihak Republik yang menyamar diri seolah-olah telah tewas. Ketika pasukan Belanda bekerja memungut mayat-mayat temannya untuk dikebumikan, secara tiba-tiba ketiga Pang tadi dengan serentak bangkit menghunus pedang mencincang Belanda. Namun, akibat tembakan-tembakan serdadu Belanda, Pang Ali dan Pang Edem syahid, sedangkan Pang Aman Dimot selamat, karena tak mempan peluru. Setelah ditangkap, ia diikat lalu oleh Belanda dimasukkan granat ke dalam mulutnya. Ketika granat meledak, syahidlah Aman Dimot.
Dalam agresi kedua itu, Belanda terus-menerus menggempur pusat-pusat pertahanan RI di seluruh tanah air. Daerah Aceh diserang habis-habisan, tetapi karena pertahanan Aceh amat kuat pada masa itu, maka maksud Belanda untuk menduduki kembali daerah Aceh dalam agresi kedua juga gagal seperti agresi pertama sebelumnya. Kegagalan ini diakui sendiri oleh Van de Velde, Penasihat Politik Pemerintah Belanda untuk Sumatera, seorang yang amat mengenal watak orang Aceh karena selama 7 tahun pernah bertugas di berbagai tempat di Aceh. Apalagi ia adalah murid Snouck Hurgronje yang terkenal ahli tentang Aceh.
Dalam buku “Surat-Surat dari Sumatera” yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Dr. J.J. van de Velde menulis: “Karena kita telah menduduki seluruh Sumatera, kecuali Aceh pada waktu aksi polisionil kedua, maka pasukan kita terpaksa disebar meliputi daerah-daerah luas; …”(halaman 237). Pada halaman 242, dengan nada mengkritik pejabat-pejabat militer Belanda, Van de Velde memberi kesan tentang kuatnya pertahanan Aceh begini: “Adalah fakta bahwa di kalangan pimpinan angkatan perang masih selalu berpikiran bahwa pendudukan Aceh, dalam periode yang berjarak lebih jauh, tidak bisa dihindari, kecuali kalau Aceh, dengan cara lain, bisa ditempatkan di atas rel NIS. Pikiran semacam ini adalah suatu kebodohan yang tak masuk akal. Perang di Aceh, pada masa ini, akan berarti bunuh diri bagi Belanda serta puncak segala bencana”.
Sumber : http://tambeh.wordpress.com/2010/02/14/mobilisasi-massa-ke-medan-area-2/
- Get link
- Other Apps
Comments
Post a Comment