Semangat Bupati Syahadat membangun Pendidikan di Aceh Tenggarta
ACEH TENGGARA sekarang sedang mengejar ketinggalannya dari daerah lain. Begitu kata bupati Syahadat yang letkol itu kepada koresponden TEMPO di Medan tahun lalu ketika berada dilapangan terbang Polonia mau naik haji. "Dan kemajuan tidak mungkin tercapai kalau dunia pendidikan brengsek" tambahnya lagi. Setelah ia pulang haji ucapan ini benar-benar dibuktikan Syahadat. Ia bukan hanya menginginkan Kabupaten Aceh Tenggara yang selama ini sudah dikenal sebagai penghasil beras utama yang banyak tersedot ke Sumatera Utara tetapi juga putra-putra daerahnya tidak lagi pergi merantau jauh menuntut ilmu. Daerah ini dulunya di kenal sebagai Gayo Alas dan penduduknya terasa benar tertinggal dari teman-temannya yang lain, kendati dulunya masih tergabung didalam Kabupaten Aceh Tengah. Akhirnya atas usaha Syahadat yang memang berasal dari sini, lalu memperjuangkan daerahnya ini menjadi sebuah kabupaten. Berhasil. Dan Syahadat menjadi bupati, walaupun sampai sekarang status daerah ini sebagai sebuah kabupaten belum mendapat pengesyahan dari pemerintah Pusat. Babussalam. Pada tahun 1958 Aceh Tenggara hanya punya I SMP dan sebuah SMA. Kemudian Syahadat mendapat ilham dan berhajat mencontoh perkampungan pelajar dan mahasiswa "Darussalam" di Banda Aceh. Setelah berbenah-benah dengan rencana, maka sekarang dibangunlah sebuah kampus pelajar di ibukota kabupaten di Kutacane. Perkampungan pelajar yang dibanggakannya itu sekarang sudah berdiri megah dan diberinya nama "Babussalam", Disitu berdiri SMP, Madrasah Islam Negeri, SMA dan Sekolah Persiapan IAIN. Segala persiapan dan perlengkapan disediakan secukupnya termasuk 8 buah rumah para guru dan sebuah balai adat. Tidak jauh dari perkampungan itu sekarang oleh Syahadat sedang dihangun pula sebuah pesantren. Tentu sudah dapat di duga apa maksudnya. Disamping para pelajar di suruh memilih agar mereka dapat belajar ilmu-ilmu yang bersangkut paut dengan dunia juga tak ketinggalan soal-soal akhirat. Hasrat Syahadat rupanya telah mendapat sambutan meriah dari masyarakat Aceh Tenggara. Kemudian lewat sang bupatinya mereka meminta lagi agar bisa pula di dirikan fakultas. Lalu bupati yang masih bersemangat ini tak berdiam diri dan di utuslah para pemuka masyarakat untuk menjumpai pimpinan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan. Utusan ini di pimpin oleh Murdiono SH yang juga menjadi Ketua Pengadilan Negeri di Kutacane, berhasil menarik simpati para pimpinan UISU dan mengajak mereka agar segera berkunjung ke Kutacane Bupati Syahadat sendiri pada kesempatan itu tak lupa menitipkan sebuah surat bernomor 1724/12 teranggal 9 Maret 1973 untuk Yayasan UISU yang mengatakan bahwa "minat masyarakat Aceh Tenggara besar sekali untuk melanjutkan pelajarannya diperguruan tinggi". Kalau UISU dapat membuka cabangnya di Kutacane tentu para tenaga pengajarnya tidak akan mengalami kesulitan" mengingat jarak Kutacane - Medan lebih dekat" jika di bandingkan dengan jaraknya Banda Aceh dengan kota itu. Maka diharapkanlah agar perguruan tinggi tertua di Sumatel a ltara itu berkenan membuka cabangnya di sana untuk jenis-jenis fakultas-fakultas tarbiyah dan ilmu pendidikan. Dan oleh Murdiono dikatakan, bahwa soal animo mahasiswa serta beberapa tenaga dosen yang berdiam di Kutacane dapat di andalkan yang sulit hanya masalah status sebagai sebuah perguruan tinggi. Kuliah jauh. Rupanya bupati Syahadat tidak bertepuk sebelah tangan. Pada 30 Maret yang lalu berangkat pula utusan-utusan ke Kutacane yang dipimpin oleh Haji Adnan Benawi SH, Arifin Jonain dan Dr Mustafa Majnu. Mereka mau melihat dulu kemungkinan di bukanya "kuliah jauh" seperti yang di sebutkan Jonain di depan suatu pertemuan yang di adakan di DPRD Kabupaten Aceh Tenggara. Dan sudah dapat di duga, bahwa Jonain mengatakan pula siapa sebenarnya pemilik UISU itu selain perguruan tinggi itu mentrapkan "iman, ilmu dan amal" ketengah masyarakat, UISU bukan hanya kepunyaan orang Sumatera Utara tapi adalah milik ummat Islam, juga di Aceh. Sedangkan Dr Mustafa Majnu menyebutkan lima syarat untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi. Harus ada mahasiswanya, dosen, kurikulum, fasililas yang ada dan sesuai dengan peraturan pemerintah disamping adanya perpustakaan yang baik dan lengkap. Karena hasrat sudah demikian meluap, tentu saja Syahadat tidak begitu pusing pada syarat-syarat itu karena ia memang sudah menyediakannya. Tapi begitupun dalam pertemuan itu ia minta dengan sangat agar masyarakat Aceh Tenggara tidak lepas tangan. "Kalau UISU sudah mengabulkan permintaan kita maka kita juga harus bertanggung jawab dan menjaganya", kata Syahadat berapi-api. "Tapi, apa bila UISU tidak mau membuka cabangnya disini, walaupun hasrat dan keinginan kami sudah demikian bulat, tak ada jalan lain. Kecuali hanya mengadu saja kepada Allah. Kami dan anak-anak kami sudah haus akan pendidikan dan seandainya UISU tidak mau membuka fakultasnya, lepaslah kami dari ketimpa bala dosa dari Tuhan". Tentu saja sekarang orang-orang UISU di Medan sedang merenung-renung apa lagi setelah mendengar isi hati Syahadat. Bila tidak dikabulkan buyarlah harapan sang bupati, bak pungguk merindukan bulan. Dan sekarang kelanjutan berita dari UISU masih tetap ditunggu-tunggu.
Comments
Post a Comment