Perang Aceh


Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Ali al Moghayat Syah, dan mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan diantara para pewaris, sehingga me­nimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah. Walau. demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggeris maupun Belanda, sampai tahun 1873.
Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain berisi:
(a) Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka dan Singapura kepada Inggeris;
(b) Inggeris mengundurkan diri dari Indonesia dengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan Nias kepada Belanda;
(c) Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara itu.
Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang de jure berada di bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, dimana dinyata­kan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia.
Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah mem­beri konsesi kepada Belanda untuk membuka per­kebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntung­an yang sangat menggiurkan.
Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun per­tamanya perusahaan baru itu telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada penguasa Hindia Belanda.
Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, me­rubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh men­jadi sangat strategis.
Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasnonal, serta sangat mungkin menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk mencaplok­nya, maka pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju Istambul untuk memohon kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah, karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak mampu untuk memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya begitu jauh dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal.
Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh.
Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut diatas seperti ke­untungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasil­an menumpas perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan kolonialnya ke Aceh.
Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan Belanda E. de Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869. Hasil dari persekongkolan E.de Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan laporan Kepada Raja Belanda, di mana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan politik yang mendesak harus dikuasai Belanda.
Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember 1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat menguntung­kan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media massa di Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871, di mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang".
Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang di­sebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas "Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian mana pun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan".
Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer di­dengarkan baik Nederland maupun di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana."
Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus di­lakukan. Setelah telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 di terima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari London untuk me­ngumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan di atas kertas telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk opresai militer tersebut.
Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan operasi.
Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, di samping itu juga suatu batalyon 'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan di bawah pimpinan perwira-perwira Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan.
Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang pikul, nara­pidana yang harus melakukan kerja paksa di luar pulau­nya sendiri. Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisional-operasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.
Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infan­tri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-­panjang, dan dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu. Tetapi se­tidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip me­nembak cepat; tentunya kalau orang mahir meng­gunakannya.
Dan inilah justru kekurangan batalyon-­batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke-XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beau­mont, Batalyon ke-IX memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon yang terlatih baik. meng­gunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin me­narik pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut­-sertakan. Karena menurut dugaan, perang Aceh tidak akan sehebat itu.
Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai pasukan ekspedisi se­banyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap ber­layar. Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar tua yang ditarik.
Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar.
Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat berangkat, Loudon dan Franser van de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van de putte (Menteri Jajahan Belanda) sedikit masih samar­samar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwen­huyzen dengan pasukannya ke Aceh.
Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9 Maret 1873: "…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali peng­akuan kedaulatan. Tanpa ini ekspedisi tidak ada arti­nya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…"
Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari Menteri Fransen yang tetap ber­sikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan pertama), di sini ataupun di tempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya tetap. Mulai dengan me­minta pada Aceh kejelasan, pertanggungjawaban, pe­nyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian.
Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini ber­gantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh.
"Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedih­kan. Sebab Sultan yang naik tahta pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para pembantunya. Sedangkan HabibAbdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda.
Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdur­rahman A1 Zahir sebagai Perdana Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di kalangan para hulubalang dan kaum bangsa­wan di istana kesultanan Aceh. Ia telah berhasil meng­himpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-mem­bahu membentuk pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.
Sikapnya yang tegas terhadap negara-­negara asing, seperti diungkapkan dalam percakapannya dengan Kraayenhoff, di mana antara lain berisi: "Aceh bersahabat dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh negara­negara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat persahabatan, tetapi tidak menge­kang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultan­an Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang di­namakan persahabatan?" Ilmu yang luas dan wibawanya yang besar, baik di kalangan para hulubalang maupun para ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awal-awal Perang Aceh," demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye.
Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu per­tahanan sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh. Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada dilepas pantai Aceh. Dari kapal 'Citadel van Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: " ..... Kemudian dari­pada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar hendaknya negeri kami jangan di­hancurkan".
Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadel van Antwerpen, yang berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seri paduka tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sri paduka tuanku bersedia mengakui ke­daulatan sri baginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat dihentikan atau tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen.
Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi : "Mengenai permakluman yang dimaksud
dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain daripada mengemukakan bahwa dari pihak kami tidak ada tumbuh sedikit pun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya se­orang miskin dan muda dan kami sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirul kalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…"
Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan.
Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwen­huyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen, melepaskan tembakan ke arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukanAceh.
Di Den Haag sejak tanggaI 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian. Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwen­huyzen. Frans van de Putte telah meminta Loudon me­nyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.
Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April 1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian. Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain dari­pada semua perang yang terdahulu.
Bila di nusantara dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama, Citadel van Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.
Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan di­dirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat pemerintahan dikuasai, menurut anggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah.
Tetapi di mana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Di dalamnya dikemukakan bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapang­an, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim'. Dalam kenyataannya, tempat sultan berse­mayam paling-paling hanya beberapa ratus orang peng­huninya dan letak bangunannya lebih ke sebelah sana sungai dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung di dalamnya dan kampung Cina yang kecil.
Pada uraian ini di sertakan dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan meng­gunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya. Kuala sungai di situ sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan yang digambarkan. Keterangan-­keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Di antara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun.
Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang di belakangnya tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula di duga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagai­kan sultan sendiri yang bersemayam di sini. Masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat di pihak pasukan Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggal­kan benteng masjid itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam.
Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupa­kan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan Belanda kehilangan semangat.
Mestinya orang sudah meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian menyuruh menaklukkannya lagi. Tetapi peng­gantinya Kolonel Van Daalen tidak ditinggalkan suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya.
Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju keraton. Garis hubungan dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer dari masjid letaknya, senantiasa ter­ancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang pejuang­pejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati, menyerbu batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan pe­nembakan. Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton. Mereka dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan Belanda.
Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain sekali daripada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian dimusyawarahkan di kapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya. Menurut para perwira 'ternyata sudah musuh gigh yang melawan lebih besar kekuatannya'. Koman­dan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air. Baik keamanan kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan darat tidak terjamin, sehingga pengirim­an bala bantuan yang telah diputuskan oleh Batavia pun tidak akan ada artinya lagi.
Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk meme­rintahkan pasukan penyerbunya kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan Belanda pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir 400 orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan pribumi. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan luka-luka; itulah akibat kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu.
Usaha pasukan Belanda untuk menguasai Aceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan masih pula di­bentuk panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang kalah. Ketuanya Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi penembak meriam ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal ll Mei 1873: "Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!"
Dari ucapan terima kasih Kolonel Van Daalen ter­nyata bahwa tidak setiap orang di Batavia, sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. "Anda menunjukkan bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar arang tolol, yung menilai suatu ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa mem­perhatikan keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya," kata-katanya pahit.
Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada; dan ke dalamnya termasuk orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus men­dukung dan mempertanggungjawabkan beban kegagal­an itu. Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami orang-orang sejati 'tempo dulu', bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang kolonial di nusantara ini.
Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke Kalimantan pun entah sudah berapa ? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya perang Padri Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan pengepungan terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan di sana, dapat merebut benteng Bonjol di gunung dari kaum Padri ? Nah, pasukan Belanda akan mengambil balas pula di Aceh.
Tetapi kali ini akan terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer Belanda se­lanjutnya, hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah; tetapi hasilnya belum bisa me­naklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui pasukan Belanda di Aceh sepanjang masa.
Pada tanggal 18 Mei 1873 Raja Willem III mengada­kan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda. Kunjungan itu diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang memperlihatkan Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal.
Peristiwa kunjungan belasungkawa ini menumbuh­kan semangat bagi rakyat Belanda untuk melakukan balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. P Haagsman telah mengarang, satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya. Sajian Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan dan dilagukan di mana-­mana, antara lain berisi:
Ke Aceh, keraton sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat;
Dengan sang Tiga Warna Belanda 'peradaban' tumbuh.
Tanda kutip pada kata peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang menutupnya dengan:
Ke Aceh keraton itulah semboyan kita kini;
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuh, atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.
Tidak ada yang begitu besar pengaruhnya dalam mem­buat perang Aceh kedua menjadi kenyataan di negeri Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan Aceh, yaitu dengan diangkatnya Jen­deral Van Swieten menjadi panglima tertinggi penyerbu­an kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia, tetapi tidak terjadi seorang jen­deral turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam penaklukkan Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat.
Pada tanggal 6 Juni 1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang Aceh pertama, Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang kata-kata pertamanya mangandung arti: "Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komi­saris sipil dan panglima militer ke Aceh. Prestise besar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk dapat men­jadi pemimpin kedua."
Pemerintah Belanda mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan Raja, yang me­nugasi kembali Van Swieten dalam dinas aktif, ter­tanggal 11 Juni 1873. Dalam satu hal Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih daripada yang dapat di­terima Loudon dengan senang hati.
Keberangkatan Van Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan kemenangan Fransen van de Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota Scheveningen di mana Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta hadir. Pangeran, dan menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan tentara Belanda ke Aceh itu.
Ketika ber­angkat dari Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi lain berada pula di stasiun. Se­orang gadis putri Fransen van de Putte mempersembah­kan bunga. Di Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joost van Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluis ada lagi upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah di­alami oleh pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun.
Suasana perang untuk menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara bagaimanapun telah ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor Nederlandsch Indie di Batavia, dimana antara lain berbunyi: "Siapa di nusantara ini tidak memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan Sultan Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan senenuhnya atas pulau-­pulau di nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya negara kolonial, dan dari padanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan itu merupakan hak kita."
Penyerbuan pasukan militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena pelaksanaannya terlalu tergesa-­gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana peperangan, dernikian dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi pada Van Swieten. Sudah sejak di negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan Fransen van de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh dan memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari bahwa prestise nasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan tercapainya suatu ke­menangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan dengan 5,5 Juta gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan laut, yang memang begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia dikumpulkan antara ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat dipasangi sebuah meriam.
Di Negeri Belanda militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer untuk Hindia, dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji untuk tugas dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu, tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut mendengar beratnya Perang di Aceh. Karena­nya pemerintah Belanda menaikkan gratifikasi menjadi 4500 gulden.
Persenjataan mendapat banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua mitralyur. Seluruh ke­kuatan tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini berjumlah hampir 13.000 ribu orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 narapidana, dan 243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia dan beberapa kota garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh, tetapi bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan Singapura.
Pelayaran dengan maut di kapal --bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang diharapkan akan terjadi di Aceh-- tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera berkala, yang terjadi pada akhir oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang yang masuk kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan yang ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal enam puluh orang di dalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan tenaga dokter
Pada tanggal 9 Desember 1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan dikirim ke Padang) sesudah melancakan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa. Pendaratan itu dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama di kapal yang kotor dan me­nyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari lamanya dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan di sekitar kampung Peuna­yong di tepi Sungai Aceh, letaknya satu setengah kilo­meter dari keraton.
Pada akhir Desember 1875 pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang terserang kolera. Dalam rumah sakit tenda, yang sebentar-­sebentar harus dipindahkan ke tempat yang lebih kering, dirawat lima ratus pasien; 'dirawat' berarti ditempatkan dalam suatu perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira dan dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan kapal­-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembas­mian hama kolera, lalu diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang benar-benar dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya.
Sebelum mendarat, Van Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan surat kepada sultan muda usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang mengultimatum untuk menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh. Sesudah pen­daratan dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah pangkatnya di pesisir menyatakan takluk. Di antara mereka terdapat pemuka turun-temurun dari daerah Marasa, Teuku Nek. Di luar Aceh orang akan menamakannya 'raja', tetapi di situ dia disebut 'hulu­balang'.
Tidak seorang pun dalam kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya berada di delta segitiga Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak jumlahnya. Di Aceh ada pembagian ke­kuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang masing-­masing terdiri dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim pada permulaannya, maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim dipersatukan lagi menjadi tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga disebut menurut jumlah mukim yang dipunyainya.
Sagi Mukim XXV meliputi daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI lembah lebar tepi kanan. Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai membentuk titik segitiga delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi.
Daerah di muara sungai yang sebenarnya --dengan tempat kediaman sultan, dengan keraton sebagai inti­nya-- adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas nama sultan diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan meliputi beberapa kampung asing pada sungai, masjid raya --tempat Kohler tewas-- dan beberapa kampung Aceh Asli.
Semuanya itu, yaitu daerah sultan ditambah be­berapa sagi, merupakan sebagian kecil dari Aceh: tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah juta jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan diperintah oleh hulubalang.
Satu-satunya kekuasaan yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi adalah kekuasaan moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada akhir tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib Abdurrahman Al Zahir, yang mengatasi para hulu­balang, karena keahlian diplomatik, kealiman ilmunya dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan ber­sama antara sultan dan para hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan penjajah Belanda dari Aceh.
Mengenai ini semua, Van Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak banyak tahu seperti juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan se­belumnya. Ketika Teuku Nek datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal ini perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku Nek terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena itulah dia datang melapor.
Lebih curiga lagi mereka beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut Lam Reueng, panglima sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk menyatakan takluk dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut keterangannya, sang panglima ingin membagi jumlah ini di kalangan para hulubalangnya. Perbedaan antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang seder­hana dan Teuku Nya Cut Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu apapun bagi Van Swieten, karena kebodohannya. Dia haya melihat bahwa orang yang satu menyatakan dirinya takluk tanpa minta apa­-apa dan tidak bermaksud mencari keuntungan, sedang­kan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam benak sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila.
Tetapi tanpa diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang pertama dapat di­gunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan belum sempat memberi­kan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara tradisional, yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi di antara kepala mukim. Dengan membayar delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat memastikan salah seorang dari mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya.
Sesudah terjadi beberapa pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong tempat didirikannya perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukul­an besar pertamanya pada tanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk ketiga kali­nya dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagi-lagi pasukan kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh suatu brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer.
Seusai pertempuran, jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan empat belas perwira luka. Bagi suatu perang 'modern' dengan tembak­an gerak cepat senapan-senapan otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar demi merebut kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain. Dalam pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar persiapannya lebih sem­purna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang kontinyu.
Atas nasehat Teuku Nek dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubang-lubang perlin­dungan pun digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret. Juga sekoci-sekoci bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal 21 Januari 1874 akhirnya diberikan tanda untuk me­nyerbu, ternyata musuh pada malam hari telah ber­angkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai 'istana' tanpa pertempuran suatu apa pun, jatuh ke dalam tangan pasukan kolonial Belanda.
Jatuhnya keraton dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang dapat dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874.
Van Swieten memerintahkan musik staf memain­kan Wien Nederlands Bloed (Siapa Berdarah Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus dibawa untuk tujuan itu. Perintah harian­nya kepada pasukan disusun dalam gaya militer yang terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda), dan ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan, hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus.
"Bahwa keraton ini tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan bahwa memang demikian keadaannya yang dapat di­saksikan oleh setiap orang yang sempat melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada di depannya. Karena itu tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah pendaratan dapat hita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia diperoleh dengan hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi tujuan gerakan yang kita lakukun dengan sekop dan sodok," demikian ucapan Van Swieten dengan sombongnya. Padahal hasil yang di­capai ini hanya fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda.
Segera setelah Van Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus, terbit nomor ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul 'Kraton kita kuasai'. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera tiga-warna dari gedung-­gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang mem­bakar petasan, di Gedung Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang orkes berkuman­dang lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama lain dengan linangan air mata sebagai tanda gembira.
Pendeknya, hari ini hari pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu yang tidak terpakai dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenang-kenangan. Beberapa buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan lambang Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yarg diberikan kepada para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh.
Tetapi kemenangan tidak dimulai dari keraton. Ber­beda sama sekali dengan pola tradisional, ternyata jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penakluk­an Aceh. Bahkan mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk oleh pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi per­lawatan rakyat Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang yang bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka lakukan dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna.
Dan memanglah rakyat Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah Aceh menjadi daerah kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah, melumpuhkan strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van Swieten untuk mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu yang sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa topangan para hulubalang.
Kedua, puluhan tahun berlangsungnaya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat Aceh terbiasa melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki laki menyandang bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang diduduki Van Swieten dengan pasukannya. Di samping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh syurga, karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir.­
Van Swieten terpaksa merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara mendasar sesudah sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia menyatakan, bahwa karena sekarang "rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut, maka berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia Belanda."
Belanda tidak akan mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan sendiri pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia Belanda. Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat militer Belanda.
Untuk sementara pasukan Belanda kelabakan me­nolak kawula-kawula Belanda baru itu masuk dan melindungi daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-­tetangganya, karena itu sejak tanggat 31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan keraton itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih tinggal di Aceh.
Dari 389 orang perwira dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan penyerbu, telah me­ninggal dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700 orang bawahan. Karena sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada bulan-bulan sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari kekuatan militernya.
Angka kematian di kalangan narapidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan Belanda jauh lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu orang meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang ditinggal­kan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pim­pinan penggantinya, Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang dua ribu orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus diganti oleh yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang begitu besar?
Sebuah keraton kosong diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut Kutaraja, kota sultan, sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi seorang bersemayam di sana. Di daerah hulu se­panjang sungai dibangun beberapa tangsi yang ber­benteng kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja dikuasai. Dari tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai!
Penyerbuan kedua, Perang Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan meriah ter­hadap pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur kehormatan dan karangan-karang­an bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap
Van Swieten di Negeri Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang dihadiri oleh pangeran-­pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen, tidak dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Van Swieten telah menasehatkan pada pengganti­nya, Kolonel Pel, agar sementara waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pel pun atas permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan itu pun hampir­hampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan yang terancam.
Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874 tenaga-tenaga tempurnya di­bandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat, hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa dalam keadaan sakit atau luka.
Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara b esar-besaran oleh Belanda; terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa kilometer ke hilir keraton dekat Peuna­yong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.
Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka, jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak diterjakan: semuanya terlanda banjir di sini. Celakanya pula, justru disinilah letak barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera dipindahkan
Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di lembah.Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara di lapangan terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu kecil. Ber­beda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan dan gunung-gunung di sekitarnya. Mereka ber­diam di rumah-rumah tiang atau tanah-tanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan.
Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.
Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru.
Kini pun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim di luar negeri, kelompok yang memimpin di Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim.
Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin per­lawanan; seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat kekuasaan yang mudah terjlangkau, yaitu Imam Leung Bata.
Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan di depan suatu pasukan mobil diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari tempat pendaratan, Olehleh.
Mereka terdiri dari sebuah batalyoa infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua paruh batalyon yang melaku­kan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua
bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kira-kira seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini daripada pasukan 'bumiputra'. Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali.
Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih tergenang air dan pematang­-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan, menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, seebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan di tengah-tengah kolonne, dan panji di depan sekali. Lebih baik rasanya dengan menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh.
Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkas-tangkas-- dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya. Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat ber­buat lain selain mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya yang lebih tidak praktis.
Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonne-kolonne itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi.
Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui pematang.
Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-­sendiri dengan susah payah dan hilang dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul se­tengah tiga petang, dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurus­nya hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah. dan mengitari sawah.
Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah di mana mereka sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat men­dengar kolonne sungai meniup isyarat terompet Wilhelmus van Nassauwe. Kedua komandan ini masing-­masing menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat ke­mungkinan sampai ke situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali ke keraton.
Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri tidak lengkap dan dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberitahukan bahwa mereka berada dalam kesulit­an. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat maju daripada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan men­cari-cari tujuannya, beberapa kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya dengan melakukan pertempuran hebat.
Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah ke­hilangan sepuluh orang tewas dan lima orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang. Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada di sekitar tempat itu. Di Lhong keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmus van Nassouwe serta memancangkan bendera Belanda di pohon yang ter­tinggi dalam kampung itu, dia ingin minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.
Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat "Batalyon X kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan men­jauh dapat disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang kembali dari­pada terus.
Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang tinggal ini setengah mati keadaannya di masjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu meriam kecil Aceh yang dapat dibawa ke mana-mana.
Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya tidak dapat dipertahan­kan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam kebingungan dia mengambil jalan lain daripada yang ditempuhnya pagi-­pagi. Sesudah dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu.
Betul-betul panik mereka dan lari pon­tang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, di antaranya seorang mati tenggelam di dalam rawa.
Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai masjid Lueng Bata untuk ber­gabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengi­rimkan bala bantuan, karena kolonne sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan datang.
Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.
Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecah­kan semua rekor. Kekuatan pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia 1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk me­melihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.
Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang
ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukum­an tambahan untuk melakukan kerja paksa di luar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang di­serap oleh Aceh.
Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian pangkatnya dinaikkan men­jadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah-pecah. Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonne-kolonne yang bertugas harus bertempur me­rintis jalan menuju benteng-benteng yang terkepung itu.
Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah iewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal dekat keraton pada peng­angkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada peristiwa-peristiwa demikian di kalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi. Berbatalyon-batalyon lengkap di kirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk melindungi pengangkutan dan `masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan sia-sia.
Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi mereka beroperasi secara teratur. Orang yag mengatur segalanya ini adalah Habib Abdurrahman A1 Zahir.
Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semen­jak awal Perang Aceh tidak berhasil, terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman A1 zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan me­nyamar demikian, dia berlayar dengan sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang di pantai Aceh. Di tengah laut kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-­suratnya beres, dan Habib tidak dikenali, walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri pantai Aceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak suiit orang mengenalnya.
Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai Aceh. Di mana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya, dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.
Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari pihak ulama, ter­utama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya, sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang letaknya hanya kira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga di luar Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat berhak men­jadi syuhada.

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara