Legenda dari Tanah Alas (Batu Miwon)
- Get link
- X
- Other Apps
BATU MIWON
Tahu  kah kamu bahwa sungai Lawe Alas yang mengalir laksana ular meliuk-liuk  dan melintas gunung-gunung yang menghijau ditepiannya, teryata menyimpan  sebuah kisah anak manusia. Anak manusia itu bernama Miwon dan Kasidin.
Miwon  dan Kasidin adalah sepasang anak bersaudara. Mereka tinggal disebuah  gubuk tua di pinggir sungai Lawe Alas di sebuah perkampungan bernama  Desa Mendabe. Kedua anak ini sejak kecil telah menjadi anak yatim piatu.  Orang tua mereka haya meninggalkan sebuah gubuk tua dan jala penangkap  ikan sebagai warisan.
Kasidin seorang anak laki-laki yang tangguh.  Dia selalu mencari nafkah dengan menjala ikan di sungai Lawe Alas.  Ikan-ikan hasil tangkapannya itu di jualnya dengan berjalan kaki ke  kota. Kota tempat Kasidin menjual ikan itu bernama Kota Kutacane.
Dalam  keseharian Miwon dan Kasidin tidak pernah bergaul dengan penduduk yang  tinggal di Desa Mendabe. Hal ini terjadi karena penduduk yang ada di  desa tersebut tidak mau bergaul dengan mereka. Mereka di anggap hina  karena kemiskinannya.
Pada suatu hari terjadi percakapan antara kedua anak bersaudara yang yatim piatu itu.
“Abagng ?!” Panggil Miwon.
Ya, ada apakah adikku? balas Kasidin.
Boleh aku mandi bersama anak-anak itu?
Ungkat Miwon pula sambil menunjuk ke arah sungai dimana terdapat anak-anak desa yang asyik sedang mandi sambil bermain.
Mendengar  permintaan adiknya Kasidin mengarahkan pandangannya ke arah sungai yang  tidak jauh dari rumah mereka. Di sungai itu dia melihat sekelompok  anak-anak laki-laki dan perempuan yang sebaya dengannya dan adiknya  bercanda ria sambil bareng-barengan.
Hati Kasidin sebenarnya juga  sangat tertarik untuk ikut bermain dengan mereka. Tetapi dia sangat  teringat pada waktu usianya tujuh tahun yang lalu. Saat itu usianya  persisi sama dengan umur Miwon saat ini. Ketika masa itu ia hendak  bergabung denga sekelompok anak laki-laki yang telah terlebih dahulu  bermain di sungai itu. Ia mendengar sebuah bentakan : 
Hai, imbo*)! Pergi sana !! Ternyata seorang anak laki-laki sebaya membentak seraya melemparnya dengan batu.
Hei!!?  Apakah salahku sehingga kalian tega mengusirku?! Demikian Kasidin  membalas bentakan itu seraya menatap wajah anak itu dengan pandangan  yang tajam.
Salahmu?! Ha, ha ha……. Kalau engkau mau tahu baiklah…….  Kata ibuku kau anak pembawa sial. Begitui ibumu melahirkanmu kakekmu  mati dan ketika adikmu lahir ayahmu juga mati. Setelah setahun kemudian  ibumu juga menyusul mati. Nah, kalian berdua yaitu kau dan adikmu itu  anak pembawa sial. Karena itu orang tua kami takut kalau sial kalien  akan lengket pada kami”,. Kata anak laki-laki itu seraya berlalu sambil  tertawa mengejek. 
Hati Kasidin benar-benar sangat terluka mengenang  ucapan anak itu. Walaupun saat ini sudah berlalu selama tiga tahun dia  tidak pernah lupa akan cerita anak yang di sungai Lawe Alas itu.
“Mengapa engkau menangis bang??” Tanya Miwon tiba-tiba menyadarkan Kasidin dari lemunannya. 
“Ah,  oh!! Tidak apa-apa adikku. Aku Cuma tidak ingin engkau nantinya diusir  oleh mereka, kata Kasidin seraya menarik tangan adiknya masuk ke dalam  rumah.
“Pasti ada apa-apanya, bang! balas Miwon mengikuti abangnya masuk ke dalam rumah.
“Abang  tidak seperti biasanya, kalau aku menginginkan sesuatu abang pasti  kabulkan, mengapa yang satu ini abang tidak setuju. Apa salahnya aku  bermain dengan mereka, “Ucap Miwon kembali.
“Mengapa tidak salah  adik. Tetapimereka itu tidak suka pada kita,” kata Kasidin sambil  membelai rambut adiknya dengan kasih sayang dan berharap adiknya bisa  mengerti.
“Ah, tetapi mengapa, bang?!”
“Kata mereka kita ini anak  sial. Namun aku rasa bukan itu penyebabnya, dik! Bukan karena kakek  kita, ayah kita dan ibu kita yang meninggal dunia berketepatan dengan  kelahiran kita sehingga kita disebut sial. Abang rasa mereka itu  mengada-ngada saja. Buktinya waktu ibu masih ada, waktu itu kan kau  masih umur setahun dan aku tujuh tahun, kita masih memeliki ibu. Mereka  tidak mau juga bergaul dengan ibu kita. Ibu kita pernah bercerita bahwa  mereka tidak pernah mau berteman dengan ibu dan ayah karena kedua orang  tua kita hidup susah dan miskin,” tutur Kasidin memberikan penjelasan  panjang lebar.
Miwon menatap wajah kakanya dengan pandangan yang tak  mengerti. Dia tidak paham dengan cerita abangnya karena usianya yang  masih lima tahun. Mengapa terlalu muda untuk Miwon dapat memahami makna  cerita abangnya itu.
Miwon, mulai saat ini engkau jangan lagi meminta  padaku bermaibn dengan anak-anak desa itu. Biarkan hanya engkau dan aku  saja yang bermain. Aku pernah berjanji pada ibu bahwa aku akan tetap  memeliharamu, merawatmu dan melindungimu sampai mati,” Kata Kasidin  sedih.
Kasidin anak yang saat itu masih berusia sepuluh tahun selalu  berusaha memegang terguh janjinya pada ibunya. Dia tidak akan membiarkan  adinya hidup tanpa perlindungannya. Oleh karenanya semenjak dari umur  setahun adiknya dipeliharanya dengan baik. Dia tidak pernah meninggalkan  adiknya walau dia pergi kemana saja. Adiknya Miwon selalu dibawanya.  Miwon juga tidak mau pergi kemanapun tanpa seijin abangnya.  Bertahun-tahun mereka hidup berdua saja di gubuk pinggiran Sungai Lawe  Alas itu.
Tanpa terasa waktupun terus berlalu. Tanpa terasa Kasidin  dan Wimon tumbuh menjadi anak remaja. Miwon tumbuh menjadi gadis yang  sangat cantik. Kecantikkan Miwon tidak ada bandingannya dengan Gadis  lain seisi desa, Begitu pula dengan Kasidin, dia menjadi pemuda yang  gagah perkasa. Tetapi sangat disayangkan kedua remaja itu sedikitpun  tidak pernah mendapatkan pendidikan agama maupun dunia. Mereka hanya  mengenal aturan menurut kata hati mereka saja. Apapun yang mereka  lakukan tidak ada yang mengawasinya. Akhirnya Kasin dan Miwon  mengangggap semua tindakannya adalah benar.
Miwon yang cantik jelita  itu diperlakukan abangnya layaknya seperi seorang kekasih. Pernah suatu  hari seorang pemuda Desa Mendabe bernama Rabuse hendak mendekati Miwon  karena pemuda itu secara diam-diam telah jatuh cinta kepada Miwon.  Melihat hal itu Kasidin merasa cemburu dan curiga terhadap pemuda desa  tersebut. Dia cemburu karena Rabuse membawa pakaian yang bagus untuk  Miwon dan curiga pada pemuda itu karena ia takut pemuda itu akan  menyakiti adiknya. Larenanya tanpa berpikir panjang Kasidin dengan kasar  mengusir pemuda itu. Pemuda itu katakukan karena Kasidin lebih kuat.
Semenjak  peristiwa itu terjadi, tidak ada satu pemudapun yang berani mendekati  Miwon. Ternyata hal ini melegakan hati Kasidin. Sang abang merasa bangga  apabila mengandeng tangan adiknya. Baik sedang menjala ikan atau saat  mandi-mandi di sungai alas mereka selalu bersama. Diam-diam pula orang  desa memandang kagum kepada mereka berdua. Meskipun seluruh penduduk  merasa engan untuk mengajak kedua remaja itu masuk ke desa bergabung dan  bergaul dengan mereka.
Akan halnya Kasidin dan Miwon, sikap warga  desa yang tak memperdulikan mereka tidak jadi masalah lagi bagi kedua  pemuda pemudi itu. Mereka berdua bertindak susai dengan keinginan hati  mereka saja. Namun karena kebodohan dan ketiadaan ilmu agama Kasidin  justru jatuh cinta dengan adiknya Miwon. Karena usianya yang memang  telah berangkat dewasa, maka pada suatu hari Kasidin sambil memegang  kedua bahu adiknya mengatakan kepada Miwon bahwa ia ingin mengawini  adiknya itu.
“Kasidin!!!,” tiba-tiba datang sebuah suara mengelegar  mengoncangkan guduk sepasang anak bersaudara kandung itu persis manakala  Kasidin menyampaikan niatnya akan mengawini adiknya Miwon. Mendengar  suara itu Kasidin segera bergerak menjauhi adiknya dengan perasaan takut  dan gemetar.
“Hai, Kasidin !! Kau telah melanggar hukum, Kau telah  melanggar hukum Tuhan, apa yang kau lakukan dengan adikmu adalah  perbuatan salah dan terkutuk !! Terkutuk !! Kata suara yang datangnya  dari langit itu.
Ternyata suara itu tidak hanya didengar oleh Kasidin saja melainkan seluruh isi kampung.
“Hai…  orang-orang desa, perbuatan Kasidin dan Miwon yang saling catuh cinta  itu bukanlah kesalahan mereka saja, melainkan kesalahan kalian juga.  Karena kalian semua tidak mau memberi penerangan dan pengajaran pada  mereka. Maka semenjak itu sampai tiga tahun yang akan datang kalian akan  Kekurangan !! Kalian akan hidup hidup kekurangan !!” Demikian kata  suara dari langit itu lagi dengan keras.
Setelah suara petir itu  menghilang maka tiba-tiba terdengar suara petir tiga kali. Petir itu  ternyata telah menyambar Kasidin dan Miwon. Saat petir pertama menyambar  gubuk Kasidin dan Miwon sehingga gubuk itu hancur berantakaan kedua  anak itu berhasil keluar gubuk dan berlari menuju sungai. Namun ketika  akan menyeberangi sungai. Namun di tengah sungai keduanya disambar oleh  petir yang kedua dan ketiga bergantian. Akibat terkena petir itulah saat  itu juga keduanya berubah menjadi batu hitam di tengah sungai Lawe Alas  Desa Mendabe.
Sepeninggal Kasidin dan Miwon penduduk Desa Mendabe  terus menderita kelaparan selama tiga tahun berturut-turut karena sawah  mereka habis di makan tikus.
*) Spesis kera.
(Kisah ini ditulis oleh :
Rabimah, Guru SLTPN 3 Kutacane 
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara)
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment