Legenda dari Tanah Alas (Batu Miwon)

BATU MIWON

Tahu kah kamu bahwa sungai Lawe Alas yang mengalir laksana ular meliuk-liuk dan melintas gunung-gunung yang menghijau ditepiannya, teryata menyimpan sebuah kisah anak manusia. Anak manusia itu bernama Miwon dan Kasidin.
Miwon dan Kasidin adalah sepasang anak bersaudara. Mereka tinggal disebuah gubuk tua di pinggir sungai Lawe Alas di sebuah perkampungan bernama Desa Mendabe. Kedua anak ini sejak kecil telah menjadi anak yatim piatu. Orang tua mereka haya meninggalkan sebuah gubuk tua dan jala penangkap ikan sebagai warisan.
Kasidin seorang anak laki-laki yang tangguh. Dia selalu mencari nafkah dengan menjala ikan di sungai Lawe Alas. Ikan-ikan hasil tangkapannya itu di jualnya dengan berjalan kaki ke kota. Kota tempat Kasidin menjual ikan itu bernama Kota Kutacane.
Dalam keseharian Miwon dan Kasidin tidak pernah bergaul dengan penduduk yang tinggal di Desa Mendabe. Hal ini terjadi karena penduduk yang ada di desa tersebut tidak mau bergaul dengan mereka. Mereka di anggap hina karena kemiskinannya.
Pada suatu hari terjadi percakapan antara kedua anak bersaudara yang yatim piatu itu.
“Abagng ?!” Panggil Miwon.
Ya, ada apakah adikku? balas Kasidin.
Boleh aku mandi bersama anak-anak itu?
Ungkat Miwon pula sambil menunjuk ke arah sungai dimana terdapat anak-anak desa yang asyik sedang mandi sambil bermain.
Mendengar permintaan adiknya Kasidin mengarahkan pandangannya ke arah sungai yang tidak jauh dari rumah mereka. Di sungai itu dia melihat sekelompok anak-anak laki-laki dan perempuan yang sebaya dengannya dan adiknya bercanda ria sambil bareng-barengan.
Hati Kasidin sebenarnya juga sangat tertarik untuk ikut bermain dengan mereka. Tetapi dia sangat teringat pada waktu usianya tujuh tahun yang lalu. Saat itu usianya persisi sama dengan umur Miwon saat ini. Ketika masa itu ia hendak bergabung denga sekelompok anak laki-laki yang telah terlebih dahulu bermain di sungai itu. Ia mendengar sebuah bentakan :
Hai, imbo*)! Pergi sana !! Ternyata seorang anak laki-laki sebaya membentak seraya melemparnya dengan batu.
Hei!!? Apakah salahku sehingga kalian tega mengusirku?! Demikian Kasidin membalas bentakan itu seraya menatap wajah anak itu dengan pandangan yang tajam.
Salahmu?! Ha, ha ha……. Kalau engkau mau tahu baiklah……. Kata ibuku kau anak pembawa sial. Begitui ibumu melahirkanmu kakekmu mati dan ketika adikmu lahir ayahmu juga mati. Setelah setahun kemudian ibumu juga menyusul mati. Nah, kalian berdua yaitu kau dan adikmu itu anak pembawa sial. Karena itu orang tua kami takut kalau sial kalien akan lengket pada kami”,. Kata anak laki-laki itu seraya berlalu sambil tertawa mengejek.
Hati Kasidin benar-benar sangat terluka mengenang ucapan anak itu. Walaupun saat ini sudah berlalu selama tiga tahun dia tidak pernah lupa akan cerita anak yang di sungai Lawe Alas itu.
“Mengapa engkau menangis bang??” Tanya Miwon tiba-tiba menyadarkan Kasidin dari lemunannya.
“Ah, oh!! Tidak apa-apa adikku. Aku Cuma tidak ingin engkau nantinya diusir oleh mereka, kata Kasidin seraya menarik tangan adiknya masuk ke dalam rumah.
“Pasti ada apa-apanya, bang! balas Miwon mengikuti abangnya masuk ke dalam rumah.
“Abang tidak seperti biasanya, kalau aku menginginkan sesuatu abang pasti kabulkan, mengapa yang satu ini abang tidak setuju. Apa salahnya aku bermain dengan mereka, “Ucap Miwon kembali.
“Mengapa tidak salah adik. Tetapimereka itu tidak suka pada kita,” kata Kasidin sambil membelai rambut adiknya dengan kasih sayang dan berharap adiknya bisa mengerti.
“Ah, tetapi mengapa, bang?!”
“Kata mereka kita ini anak sial. Namun aku rasa bukan itu penyebabnya, dik! Bukan karena kakek kita, ayah kita dan ibu kita yang meninggal dunia berketepatan dengan kelahiran kita sehingga kita disebut sial. Abang rasa mereka itu mengada-ngada saja. Buktinya waktu ibu masih ada, waktu itu kan kau masih umur setahun dan aku tujuh tahun, kita masih memeliki ibu. Mereka tidak mau juga bergaul dengan ibu kita. Ibu kita pernah bercerita bahwa mereka tidak pernah mau berteman dengan ibu dan ayah karena kedua orang tua kita hidup susah dan miskin,” tutur Kasidin memberikan penjelasan panjang lebar.
Miwon menatap wajah kakanya dengan pandangan yang tak mengerti. Dia tidak paham dengan cerita abangnya karena usianya yang masih lima tahun. Mengapa terlalu muda untuk Miwon dapat memahami makna cerita abangnya itu.
Miwon, mulai saat ini engkau jangan lagi meminta padaku bermaibn dengan anak-anak desa itu. Biarkan hanya engkau dan aku saja yang bermain. Aku pernah berjanji pada ibu bahwa aku akan tetap memeliharamu, merawatmu dan melindungimu sampai mati,” Kata Kasidin sedih.
Kasidin anak yang saat itu masih berusia sepuluh tahun selalu berusaha memegang terguh janjinya pada ibunya. Dia tidak akan membiarkan adinya hidup tanpa perlindungannya. Oleh karenanya semenjak dari umur setahun adiknya dipeliharanya dengan baik. Dia tidak pernah meninggalkan adiknya walau dia pergi kemana saja. Adiknya Miwon selalu dibawanya. Miwon juga tidak mau pergi kemanapun tanpa seijin abangnya. Bertahun-tahun mereka hidup berdua saja di gubuk pinggiran Sungai Lawe Alas itu.
Tanpa terasa waktupun terus berlalu. Tanpa terasa Kasidin dan Wimon tumbuh menjadi anak remaja. Miwon tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Kecantikkan Miwon tidak ada bandingannya dengan Gadis lain seisi desa, Begitu pula dengan Kasidin, dia menjadi pemuda yang gagah perkasa. Tetapi sangat disayangkan kedua remaja itu sedikitpun tidak pernah mendapatkan pendidikan agama maupun dunia. Mereka hanya mengenal aturan menurut kata hati mereka saja. Apapun yang mereka lakukan tidak ada yang mengawasinya. Akhirnya Kasin dan Miwon mengangggap semua tindakannya adalah benar.
Miwon yang cantik jelita itu diperlakukan abangnya layaknya seperi seorang kekasih. Pernah suatu hari seorang pemuda Desa Mendabe bernama Rabuse hendak mendekati Miwon karena pemuda itu secara diam-diam telah jatuh cinta kepada Miwon. Melihat hal itu Kasidin merasa cemburu dan curiga terhadap pemuda desa tersebut. Dia cemburu karena Rabuse membawa pakaian yang bagus untuk Miwon dan curiga pada pemuda itu karena ia takut pemuda itu akan menyakiti adiknya. Larenanya tanpa berpikir panjang Kasidin dengan kasar mengusir pemuda itu. Pemuda itu katakukan karena Kasidin lebih kuat.
Semenjak peristiwa itu terjadi, tidak ada satu pemudapun yang berani mendekati Miwon. Ternyata hal ini melegakan hati Kasidin. Sang abang merasa bangga apabila mengandeng tangan adiknya. Baik sedang menjala ikan atau saat mandi-mandi di sungai alas mereka selalu bersama. Diam-diam pula orang desa memandang kagum kepada mereka berdua. Meskipun seluruh penduduk merasa engan untuk mengajak kedua remaja itu masuk ke desa bergabung dan bergaul dengan mereka.
Akan halnya Kasidin dan Miwon, sikap warga desa yang tak memperdulikan mereka tidak jadi masalah lagi bagi kedua pemuda pemudi itu. Mereka berdua bertindak susai dengan keinginan hati mereka saja. Namun karena kebodohan dan ketiadaan ilmu agama Kasidin justru jatuh cinta dengan adiknya Miwon. Karena usianya yang memang telah berangkat dewasa, maka pada suatu hari Kasidin sambil memegang kedua bahu adiknya mengatakan kepada Miwon bahwa ia ingin mengawini adiknya itu.
“Kasidin!!!,” tiba-tiba datang sebuah suara mengelegar mengoncangkan guduk sepasang anak bersaudara kandung itu persis manakala Kasidin menyampaikan niatnya akan mengawini adiknya Miwon. Mendengar suara itu Kasidin segera bergerak menjauhi adiknya dengan perasaan takut dan gemetar.
“Hai, Kasidin !! Kau telah melanggar hukum, Kau telah melanggar hukum Tuhan, apa yang kau lakukan dengan adikmu adalah perbuatan salah dan terkutuk !! Terkutuk !! Kata suara yang datangnya dari langit itu.
Ternyata suara itu tidak hanya didengar oleh Kasidin saja melainkan seluruh isi kampung.
“Hai… orang-orang desa, perbuatan Kasidin dan Miwon yang saling catuh cinta itu bukanlah kesalahan mereka saja, melainkan kesalahan kalian juga. Karena kalian semua tidak mau memberi penerangan dan pengajaran pada mereka. Maka semenjak itu sampai tiga tahun yang akan datang kalian akan Kekurangan !! Kalian akan hidup hidup kekurangan !!” Demikian kata suara dari langit itu lagi dengan keras.
Setelah suara petir itu menghilang maka tiba-tiba terdengar suara petir tiga kali. Petir itu ternyata telah menyambar Kasidin dan Miwon. Saat petir pertama menyambar gubuk Kasidin dan Miwon sehingga gubuk itu hancur berantakaan kedua anak itu berhasil keluar gubuk dan berlari menuju sungai. Namun ketika akan menyeberangi sungai. Namun di tengah sungai keduanya disambar oleh petir yang kedua dan ketiga bergantian. Akibat terkena petir itulah saat itu juga keduanya berubah menjadi batu hitam di tengah sungai Lawe Alas Desa Mendabe.
Sepeninggal Kasidin dan Miwon penduduk Desa Mendabe terus menderita kelaparan selama tiga tahun berturut-turut karena sawah mereka habis di makan tikus.

*) Spesis kera.

(Kisah ini ditulis oleh :
Rabimah, Guru SLTPN 3 Kutacane
Kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara)

Comments

Popular posts from this blog

Kamus Bahasa Alas-Indonesia

Marga-marga yang ada di Tanoh Alas Aceh Tenggara